Meja di ujung dekat jendela terlihat sepasang kekasih yang saling berhadapan, bukan kekasih sebenarnya, hanya sepertinya saja. Di mana laki-laki itu melihat wanita di hadapannya seraya sesekali tersenyum.
Itu Zahwa dan Wangsa, tiba-tiba memang keduanya terlihat berkencan, tapi hanya sekedar bersenang-senang saja.
"Eh lo sama Daffin gimana dah? Masih ngejar dia gak?"
Zahwa menghela dan meletakkan garpunya. "Engga, gua udah capek Sa, dari kelas sepuluh gua kejar dia tapi gak ada respon. Apalagi waktu gua kasih dia kue, tau sendiri kan lo responnya."
Wangsa mengangguk pelan."Mending lo sekarang fokus sama diri lo sendiri aja, nanti akan ada waktunya kok lo bakal ngerasain di suka sama cowok. Lo cantik Wa...."
"Masa?"
"Cantik walaupun chubby dikit," ejek Wangsa seraya mencubit pipi Zahwa. "Udah chubby, polos, cempreng lagi. Paket lengkap banget tuh."
Zahwa berdecak malas seraya pergi meninggalkan Wangsa yang masih setia dengan makananya. Ia menoleh ke arah Wangsa, berharap laki-laki itu menyusulnya, tapi nyatanya tidak. Wangsa justru menoleh melihat Zahwa tanpa ada pergerakan.
"Lo gak ngejar gue?" Tanya Zahwa dengan wajah pede. Cakra menggeleng pelan dan kembali fokus pada sepiring dessert yang ia pesan. "Enek banget si, pantes jomblo, udah ga romantis gak peka lagi," gerutu Zahwa kembali ke kursinya.
"Males, lagi ga pengen ngemis ke cewek, gue kan ganteng, kenapa harus ngejar?" Ucap Wangsa sombong. "Eh btw menurut lo gimana soal hubungan Cakra sama Kinan?"
Zahwa memicing dan menunjuk Wangsa,"cemburu ya?"
"Apa sih, gue nanya serius. Ya walaupun gue pernah suka sama Kinan, tapi kan setidaknya gue bisa pastiin kalo Cakra bakal aman sama dia."
"Kalo gue si setuju aja ya, soalnya Kinan juga gak macem-macem, Cakra juga gitu kan?"
"Iya, cuma bedanya Cakra gak pernah ngerasain suka-sukaan gitu, gue khawatir kalo sampe ada renggang nya nanti takut berdampak banget buat Cakra," jelas Wangsa pelan. "Kan kalo cintanya habis di orang lama bahaya tuh."
"Aman deh, gue yakin Kinan ga bakal bikin Cakra sakit hati." Zahwa merasa getaran pada ponselnya, ia membuka sederet pesan dari seseorang.
"Zahwa di mana? Gak ke panti?"
Zahwa mengusap bibirnya dengan tissue, ia mulai beranjak dan berpamitan pada Wangsa. Tapi laki-laki itu justru banyak tanya soal perginya Zahwa yang sangat mendadak.
"Mau ikut lah gua," paksa Wangsa langsung mengiyakan permintaannya.
Keduanya berhenti di perkampungan sederhana dan suasana yang asing bagi Wangsa. Baru selangkah Zahwa berjalan, matanya langsung tertarik pada banyaknya anak kecil yang berlari menghampiri Zahwa. Wangsa mengerutkan keningnya, laki-laki itu bingung dengan mereka, termasuk dengan Zahwa.
"Halo Kak," sapa anak perempuan yang masih sangat kecil. Ia mengulurkan tangannya,"aku Nala." Anak itu lalu mengulurkan tangan bonekanya, "kalo ini Tama."
Wangsa menurunkan pandangannya, ia sama sekali tak tersentuh oleh anak itu. Sontak Zahwa langsung menggendong Nala seraya membawanya masuk ke dalam.
"Kan gue udah bilang, jangan ikut, ngotot si."
Tebakan kalian benar, Wangsa tidak terlalu suka dengan anak kecil. Kecuali pada anak yang memiliki hubungan darah dengannya. Sesekali Wangsa memicing sinis saat mereka mencoba mendekat pada Wangsa.
Zahwa sibuk bermain dengan anak-anak di dalam dan Wangsa duduk di bangku luar menunggu Zahwa selesai dengan urusannya. Wangsa hanya bermain ponsel dan melihat keadaan rumah yang sangat alami itu. Pepohonan rindang dan tanah lembab menjadi hal asing baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAKRASA
أدب المراهقين"Kita emang sedarah, tapi bukan berarti apa yang kita punya itu selalu sama!" Ucap Cakra dengan tatapan tajam. "Dan kita liat, buat kali ini siapa yang bakal nempatin posisi itu," balas Wangsa. Cakrawala dan Cakrawangsa Adinata Pramana. Laki-laki...