Bagian 7

13.5K 509 20
                                    

"Apa?!" Bima terlonjak kaget mendengar pernyataanku. Ada apa sih? Memang ada yang salah kalau aku hamil anaknya? Umur toh sudah mencukupi untuk kita menikah, masalah mapan? Kita sudah sama - sama mapan. Apa lagi?

"Iya aku hamil Bima, kenapa?"

"Kamu tanya kenapa? Gak bisa donk ini. Aku belum siap"

Aku bangkit berdiri dan menatapnya tajam, "Kau bilang apa? Belum siap? Lalu kapan kau akan siap menikahiku Bima?" tanyaku menahan geramanku.

"Aku-"

"Sebenarnya apa yang kau tunggu lagi? Kalau kau mencintaiku bukan hal sulit kita menikah bukan? Usia kita sudah sangat pantas untuk menikah!"

"Tidak!! Aku tidak bisa!!"

"Apa maksudmu?"

"Gugurkan saja kandungan itu"

Kalimat Bima barusan seolah meruntuhkan tembok cinta di hatiku. Menggugurkan kandunganku? Tidak akan pernah!!

Aku menarik napas, "Jika tidak ingin menikahiku, aku tidak masalah! Jangan pernah memintaku untuk menggugurkan kandunganku"

Aku berlalu meninggalkan Bima. Hatiku terlanjur sakit. Sakit mendengarnya ingin membunuh darah dagingnya sendiri. Mengapa? Apa lagi yang dijadikan pertimbangan untuk menikahiku.

Ku pejamkan mataku dan berusaha tertidur. Tidak aku hiraukan panggilan Bima yang ingin bicara denganku. Aku tidak ingin dia menyakitiku lagi. Benar dia tidak berubah menjadi lebih baik. Akh! Aku sanggup membiayai anak ini. Aku sanggup tanpa Bima! Apapun yang terjadi, aku akan mempertaruhkan apapun demi anak ini.

Esok paginya

Perjalanan panjang kembali ke Bali ku habiskan dengan perang dingin bersama Bima. Aku sama sekali tidak berbicara apapun dengannya sejak pagi. Aku rasa Bima juga tidak perduli. Dia nampak diam dan fokus menatap layar ponselnya. Biarlah.

Sesampainya di Bali, tepatnya di rumahku. Aku mengajar Bima untuk bicara lagi. Sedikit bernegosiasi. Aku tidak ingin mengugurkan kandungan ini. Jika memang dia tidak ingin bertanggung jawab, paling tidak biarkan aku yang mengasuh anak ini sendirian

"Bim.." panggilku sehalus mungkin agar bisa menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Bima menoleh kerahku

"Gak Din, kita gak bisa menikah!!"

"Kenapa? Berikan aku alasan! Kamu belum siap? Apa yang membuatmu belum siap?"

Bima terdiam sejenak, menatapku lalu mengelus kepalaku, "Jika aku memiliki sebuah penawaran apa kau mau menerimanya??" tanya Bima yang membuat aku sedikit heran

"Penawaran apa Bim??"

"Aku.. Aku akan menikahimu, tapi itu hanya pernikahan siri"

"Apa???" aku terbelalak kaget mendengar penawaran Bima. Kenapa memangnya harus menikah Siri? Aku ingin menikah Sah. Lagian apa sih yang ada di otak Bima?? Kenapa juga susah sekali dia menikahi kekasihnya ini? Apa ada wanita lain?

"Apa ada wanita lain??" tanyaku lagi. Bima menatapku, "Tidak ada!" ujarnya ketus

Aku menghela napas, "Aku ingin menikah sah Bima.."

"Aku tidak bisa untuk saat ini Dinda, kalau kau tidak mau. Gugurkan segera bayi itu" Bima bangkit hendak meninggalkan aku. Ku pejamkan mataku, apa yang harus ku perbuat sekarang,

"Bima tunggu...!!"

Bima menghentikan langkahnya lalu menoleh kearahku, aku menatapnya dalam diam

"Aku bersedia.." ujarku lesu. Bima menatapku lalu tersenyum. Kemudian melangkah pergi meninggalkanku.

Oh Tuhan, apa keputusanku ini benar? Apa memang aku harus menerima pernikahan Siri dari Bima? Tapi aku tidak bisa egois kan? Anak ini membutuhkan ayahnya juga, Bima sudah ada niatan untuk bertanggung jawab, kenapa niatan baik itu tidak aku terika dengan baik? Urusan lainnya, biarkan saja Tuhan yang menentukan bagaimana kedepannya kehidupan aku, Bima dan anak ini.

Aku mengelus perutku yang masih rata, "Mama ingin kamu bahagia sayang..." ucapku

Aku merasakan mual lagi, ini sudah sering aku lalui sendiri, di saat aku tahu aku hamil, aku berharap Bima selalu akan mendampingiku, selalu menjagaku, perasaanku jadi sedikit sensitif. Bersabarlah Dinda, kelak buah dari kesabaranmu adalah kebahagiaan.

"Non gak apa - apa?" tanya Siti kepadaku aku menoleh dan menggeleng.

"Siti boleh aku minta tolong?"

"Bisa Non, apa yang bisa saya bantu?"

"Tolong belikan aku mangga muda ya, aku ingin sesuatu yang asam - asam agar aku tidak merasakan mual lagi"

Siti menatapku heran dan mungkin di kepalanya aku aneh, karena aku paling benci makanan asam apalagi mangga muda aku sangat tidak suka. Tapi sekarang aku malah ingin makan mangga muda yang asamnya jangan ditanya lagi

"Non, kenapa... Hmm.. Non kenapa tumben.."

"Saya hamil Siti" ujarku pelan

Situ menatapku kaget tidak percaya bahwa aku hamil. Tapi memang beginilah kenyataannya, aku memang hamil. Hamil diluar nikah.

"Anak.. Tuan Bima??" tanyanya hati - hati yang aku balas dengan anggukan kepala "Tolong carikan sekarang ya Siti" pintaku sekali lagi

"Baik non" Siti keluar dari rumah dan pergi meninggalkanku sendirian dirumah.

Aku menghela napas pelan, pikiranku menerawang. Tidak apa jika Bima tidak ingin menikahiku, aku tidak masalah. Asal jangan minta aku menggugurkan anak ini. Aku menginginkannya. Namun aku berpikir lagi, apa yang menyebabkan Bima masih tidak ingin menikahiku? Apa masalahnya? Lagi - lagi aku hanya bisa mendesah pelan.

Esok harinya

Aku merasa tidak fokus bekerja hari ini, pasalnya Bima mengajakku menikah besok. Dia akan membawa saksi kakaknya. Aku ingin mengajak kedua orang tuaku, namun Bima melarangku. Entahlah apa yang ada dipikirannya. Aku sudah pasrah saja. Keinginan untuk menikah dengannyapun perlahan memudar.

Tok tok tok

"Ya masuk" perintahku

"Waah Dinda, sudah aktig bekerja lagi?" sapa Aldo saat memasuki ruanganku aku membalas dengan senyuman

"Butuh uang, haru kerja" dia tertawa lalu berjalan duduk di hadapanku

"Kau sakit? Kau terlihat pucat" aku hanya menggeleng. Dan tersenyum

"Ada apa?" tanyaku to the point

"Ini beberapa proposal pengajuan yang harus kau pelajari. Lalu berikan keputusanmu kepadaku"

"Baiklah aku akan mempelajarinya. Minggu depan aku akan memberi keputusan. Ada banyak berkas yang harus aku pelajari"

"Baiklah. Mau makan siang bersama?" tawarnya. Aku diam sebentar kemudian mengiyakan ajakannya. Walaupun aku tidak selera makan, namun aku harus ingat ada seseorang yang ingin bertahan hidup di dalam tubuhku. Dia butuh makan.

AYAH UNTUK ANAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang