Bagian 19

11.9K 544 21
                                    

Dinda Pov

Perasaan ini campur aduk, entah apa yang aku rasakan aku juga tidak bisa menyadarinya sepenuhnya. Ya Tuhan, sesusah itukah aku untuk bangkit? Sesusah itukah aku untuk bahagia? Kenapa dia selalu hadir di saat aku sudah mulai melupakannya? Aku tidak mau menjadi seseorang yang gagal move on!

"Apa aku tidak boleh masuk?" tanyanya menatapku yang tengah melamun

"Hmm.. Silahkan" ujarku ragu membuka pintu lebih lebar untuknya masuk ke rumahku

"Apa aku mengganggu waktumu?" tanyanya lagi yang aku jawab dengan senyum kikuk dan gelengan kepala. Jujur saja aku bingung harus bersikap bagaimana?

"Mau minum?" tawarku canggung

Dia tertawa, ya ampun! Aku merindukan tawa itu. Tawa hangatnya, tawa yang dulu pernah menjadi semangat hidupku.

"Tidak, ehem Dinda.. Aku ingin bicara sesuatu" ujarnya dengan mimik wajah serius. Aku mengambil tempat duduk tepat bersebrangan dengannya. Berulang kali menghela napas agar tidak nampak grogi atau semacamnya

"Bolehkah aku bertemu dengannya?" tanyanya

Aku paham arah maksud pembicaraannya, namun aku hanya diam tanpa berani menatap matanya. Aku tau, dia berhak namun di bagian sisi hatiku yang egois melarangku keras mempertemukan mereka berdua

"Tidak boleh? Yah aku paham, aku mengerti, jika aku tidak bisa menemuinya. Aku hanya ingin lihat, seperti apa rupanya? Apa jenis kelaminnya, apa dia sehat? Tapi aku tidak akan memaksamu. Sampaikan salamku kepadanya" ujarnya kemudian bangkit dari tempat duduknya menatapku lekat

Dalam hatiku masih terus berperang, apakah aku akan memberikannya satu kesempatan atau aku akan sebegitu egois menjauhkan mereka berdua? Aku mendesah pelan dan ikut bangkit berdiri.

"Namanya Vicko, ayo ikut aku" ajakku padanya tanpa aku menoleh kearahnya yang pasti terkejut dengan yang aku bicarakan. Tapi aku dapat merasakan dia mengikuti langkahku

Ckrek!

Aku membuka pintu ruangan ini, dan menunjukkan sebuah box berwarna ungu di pojok ruangan ini.

"Dia..." gumamnya saat melihat bayi kecil tertidur lelap di dalam box itu. Aku melihat raut wajahnya berubah. Dia berdiri mematung memandangi bayi itu. Bodoh! Kenapa tidak di sentuh atau di gendong?

"Namanya Vicko. Kamu mau menggendongnya?" tawarku dan dibalas anggukan kepala olehnya. Dengan lihai dia mengambil Bayi itu dan menggendongnya, aku pikir Vicko akan rewel dan terbangun dari tidurnya. Namun, ternyata Vicko terlihat lebih nyaman. Ikatan bathin memang kuat

"Maafkan.. Maafkan aku" ujarnya berbisik di telinga Vicko, suaranya sedikit bergetar membuat perasaanku ikut bergetar, apalagi saat dia mencium kening dan pipi Vicko dengan penuh kasih sayang.

Vicko yang merasa tidurnya terganggu karena ciuman itj kemudian perlahan membuka mata bulatnya, dia memandang kearah orang yang menggendongnya. Biasanya jika dia tidak kenal, dia pasti akan menangis. Namun, Vicko hanya diam menatap pria yang tengah mendekapnya dan tersenyum kearahnya.

"Matanya, tatapannya, dia sungguh mirip aku" ujarnya pelan mirip sebuah gumaman. Aku mengangguk pelan.

Vicko memang duplikatnya, dia sangat mirip dengan Bima. Wajahnya, bibirnya, matanya, rambutnya, semua mirip dengan sang ayah biologis. Aku menatap mereka penuh haru, apa yang aku rasakan aku pun tidak mengerti.

Sore harinya

Aku membuka pintu kamar dan mendapati pemandangan mengharukan. Vicko tengah tertidur pulas di dada Bima, menikmati sentuhan belaian kasih sayang Bima. Setelah mereka lelah bercanda seharian. Aku menghampiri Bima dan duduk di sebelahnya

AYAH UNTUK ANAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang