Bagian 36

11.6K 464 54
                                    

Vero melangkah tergesa saat tiba di halaman rumah Aldo. Banyak orang memenuhi rumah ini, dan semuanya mengenakan pakaian serba hitam. Ya Tuhan...

"Dinda.." panggil Vero

Dinda menoleh dan berlari memeluk Vero. Tangisnya tumpah dalam dekapan hangat sahabatnya itu. Vero memang tidak menyukai Bima yang dulu sering menyakiti hati, jiwa dan raga sahabatnya. Tapi dia tidak menyangka Bima secepat ini pergi meninggalkan semua orang. Dia ikut berbela sungkawa atas kepergian Bima

"Berhentilah menangis, Bima tidak akan suka melihatmu menangisinya" ujar Vero mengusap air mata di pipi Dinda. Dia tidak menyadari bahwa sejak dia turun dari mobil diapun ikut menangis.

"Bima..." lirih Dinda

"Bima sudah bahagia di sana, ikhlaskan ya. Tenanglah" Dinda hanya membalas dengan anggukan kepala. Vero tau hati Dinda hancur kehilangan mantan suaminya itu.

"Kamu tunggu disini aku ingin bicara dengan suamimu" ujar Vero yang hanya dibalas anggukan lemah. Setelah memastikan Dinda duduk dengan nyaman, Vero berjalan menghampiri Aldo yang terduduk di sebelah jenazah Bima

"Aldo.." panggil Vero pelan mengingat banyak orang yang sedang membacakan doa untuk Bima

Aldo menoleh dan berusaha memberikan senyumnya, walau Vero tau senyum itu adalah senyum kesakitan.

"Aku turut berduka atas kepergian Bima"

"Terima kasih" ujar Aldo pelan

"Maaf, kalau boleh aku tau. Apa Jenazah ini benar - benar Jenazah Bima? Apa sudah melakukan tes DNA untuk membuktikan bahwa dia Bima? Bukan bagaimana, aku hanya berharap saja. Mungkin saat dites DNA itu bukan Bima, berarti masih ada 0,1% Bima selamat" ujar Vero pelan

"Ini Jenazah Bima Ver, walaupun Jenazah hancur dan susah dikenali tapi ini adalah Bima. Kami sudah melakukan serangkaian tes, termasuk Tes DNA saat akan mencari Jenazah Bima. Tim kepolisian dan dokter sudah menyatakan bahwa pasti Bima. Selain tes DNA, pakaian dan beberapa aksesoris yang dikenakan Jenazah ini sama 100% dengan yang dikenakan Bima sewaktu berangkat" ujar Aldo dengan mata berkaca - kaca. Vero mendesah pelan. Dia berharap bahwa Bima masih hidup. Jenazah ini bukan Bima. Tapi..

"Aku juga berharap sepertimu. Bima selamat dari kecelakaan itu, tapi secara logika saja. Pesawat itu meledak di udara, semua awak dan penumpangnya meninggal. Tidak ada satupun yang selamat" ujar Aldo Vero masih diam tak menanggapi. Dia menatap jenazah Bima.

"Semasa hidup, aku dan Bima tidak pernah rukun. Dia selalu menyakiti Dinda, itu yang membuatku tidak menyukainya bahkan cenderung ingin menjauhinya dengan Dinda. Tapi, aku sadar Bima memang berubah dan mencintai Dinda. Walaupun semua itu terlambat". Vero menyeka air matanya. Dia teringat beberapa kejadiaan pertengakaran antara dia dan Bima dulu.

"Seandainya waktu bisa diputar" ujar Vero lagi

"Bima sudah bahagia di sana. Dia sudah tenang sekarang. Yang dia butuhkan hanyalah doa yang akan mengantarkan kepergiannya dengan tenang."

"Kita harus ikhlas, jangan tangisi kepergiannya. Jika menangisi dia akan berat pergi"

"Aku sebenarnya sudah punya firasat. Tapi aku selalu menepisnya, Dinda juga berkata melihat Bima nampak berbeda lebih pendiam. Aku merasa Bima pergi ke Miami dan segera kembali lagi. Tidak aku sangka dia kembali dalam waktu 2 hari tapi dengan kondisi yang berbeda"

Aldo menangis untuk yang kesekian kalinya. Vero menepuk bahu Aldo menenangkannya. Dia menatao seorang wanita dengan dua anak gadis duduk dipojokkan menangis tiada henti. Kedua putrinya juga ikut menangis. Bella. Vero berjalan menghampiri Bella.

"Bella?"

Bella mendongak menatap wajah Vero. Mereka tidak saling mengenal tapi Vero tau siapa dalanh perusak kebahagiaan sahabatnya

"Ya?"

"Vero. Sahabat Dinda"

"Bella"

"Apa mereka putrimu?" Bella hanya mengangguk pelan menatap jenazah Bima dengan tatapan kosong. Wanita ini sungguh mencintai Bima terlihat dari sorot matanya. Tapi cara dia mencintai Bima salah. Benar - benar salah. "Ikhlaskan kepergiannya" ujar Vero pelan. Lalu mengusap kepala kedua putri Bella. Bella mengangguk dan bergumam "Terima kasih"

Vero menghilang dari hadapan Bella dan berganti dengan wajah Adis (muncul lagi si Adis ya hehe) memeluk Bella dengan hangat. Bella menumpahkan segala tangisannya kepada sahabatnya, Adis.

"Dis.. Dia pergii.. Dia bener - bener ningalin aku dan anak - anak"

"Sabar Bell, kamu harus kuat ya.. Ikhlasin Bima"

"Aku gak rela Bima meninggal Dis.. Aku belum sempet meminta maaf atas semuanya"

"Percayalah Bima sudah memaafkanmu. Tenanglah kamu harus jadi sumber kekuatan untuk mereka"

"Papah... Papah.." teriak Velita

"Papah kenapa tidur terus?? Veli kangen sama papah"

"Ve juga kangen ppaaahh..maah suruh papah banguun"

Kedua putri kembar Bella terlihat kehilangan sosok papa yang dikenalnya. Mereka tidak mengenal Wahab sebagai ayah kandungnya, baginya hanya Bima papa kandungnya. Bima memang tidak pernah baik pada Bella, sepanjang pernikahan mereka Bima sering menyakiti Bella, namun tidak untuk Velya dan Velita. Bima benar benar mencintai keduanya.

"Ikhlasiin papa yaa sayangg" bujuk Bella "Papa sudah pergii.. Papa sudah bahagiaa" Kedua putri itu menghampiri Jenazah Bima dan memeluknya. Semua mata memandang kearah kedua bocah kembar itu. Biasanya mama Bima akan marah tapi dia terlalu rapuh untuk sekedar maraah.

"Kau kesinu dengan siapa?"

"Mas Wahab. Itu dia" Adis menunjuk kakaknya yang tengah menatap mereka berdua. Pasti hatinya sangat sakit mengetahui wanita yang dicintainya menangisi pria lain. Atau hancur karena kehilamgan pria lain itu.

Di kuburan

Perlahan orang - orang meninggalkan makan Bima setelah mendoakan agar Bima tenang dan damai di sana. Tinggal orang tua Bima, Aldo, Dinda, Bella dan kedua putrinya menatap kearah makam yang masih basah itu

"Bima sayang.. Mama tidak tau mengapa kau harus pergi meninggalkan mama.. Mama melahirkanmu dan mama juga yang mengantarmu ketempat peristirahatan terakhirmu? Mengapa secepat ini? Kau bahkan belum merasakan kebahagiaam Bima.." lirih mama

"Ini jalan hidup Bima Ma, ikhlaskan Bima. Tuhan menyayangi Bima, makanya dia membawa Bima pergi bersamanya. Percayalah Bima selalu ada di dekat kita"

"Mama akan selalu merindukanmu Nak. Mama akan segera menyusulmu ke surga"

"Bima selamat tinggal" papa memeluk Mama dan mengajaknya perlahan menjauhi makam Bima

Dinda bersimpuh di makam Bima dengan air mata yang terus berurai "Bima.. Apakah kau sudah bahagia sekarang? Apakah kau sudah melihat surga?? Bima maafkan aku.. Maafkan segala kesalahanku. Kau akan selalu hidup di dalam hatiku Bima.. Selamat jalan Bima.."

Aldo ikut berjongkok membelai batu nisan Bima perlahan "Kau adalah adikku yang terbaik selamanya akan tetap begitu. Semoga tenang dan damai di peristirahatanmu. Aku dan Dinda akan selalu merindukanmu. Selamat jalan adikku"

Aldo bangkit dan mengajak Dinda pergi dari makam Bima. Tinggal Bella dan kedua putrinya. Bella berjongkok dan menciumi batu nisan mantan suaminya itu

"Aku tidak pernah menyangka, aku akan mencintaimu sebegitu dalamnya. Maaf atas keegoisanku ingin memilikimu tanpa pernah mau mengerti kebahagiaanmu. Aku terlalu serakah ingin memilikimu. Maafkan aku Bima. Aku mencintaimu selamanya walaupun kau begitu membenciku. Aku percaya cintaku ini adalah cinta sejati. Jika aku tidak memikirkan Velya dan Velita, aku rasanya ingin menyusulmu ke sana. Ingin hidup selamanya bersamamu Bim.. Aku .. Aku mencintaimu.."

Perlahan tetesan air hujan turun ke Bumi. Membasahi semua yang ada di bumi pertiwi. Termasuk Bella yanh masih bersimpuh di makam Bima. Menikmati hujan yang turun.

"Apakah Tuhan tau? Aku, bukan kami semua sedih karena kehilanganmi Bima?? Apakah kau tau kami begitu terpukul demgan kepergianmu? Hujan.. Sampaikan doaku kepada Bima.. Iringi langkahnya.. Pergilah.. Selamat jalan cintaku..."

AYAH UNTUK ANAKKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang