12. Tersinggung

81 16 0
                                    

Sudah pukul 12 malam dan di kamar redup dengan pencahayaan seadanya itu Izzam masih terjaga di tempatnya, menggeser beranda media sosial sesekali memeriksa keaktifan kontak orang yang membuatnya bertanya-tanya di mana keberadaannya. Tiada lain tentang Zidan yang sampai saat ini belum diketahui kondisinya. Tidak ada informasi lebih lanjut mengenai hilangnya Zidan, bahkan dari teman-teman terdekatnya membawa Izzam pada prasangka yang tidak-tidak.

“Nggak mungkin karena merasa terkekang dengan perjodohan ini Zidan sampai memutuskan kabur. Aku kenal bagaimana dia, bahkan dia yang begitu semangat untuk digelarnya acara pernikahan, nggak ada tanda-tanda pertentangan apapun darinya,” monolog Izzam dalam hati, memijit pangkal hidungnya yang berdenyut sakit.

“Kamu di mana sih, Zidan?”

Lampu seketika dinyalakan mengalihkan fokus Izzam melirik ke sekeliling hingga didapatinya Alila beranjak dari kasur berjalan menuju kamar mandi. Beberapa saat kemudian pintu terbuka menampilkan Alila dengan wajah basah sembari mengibaskan tangan di depan wajahnya, tampak kegerahan.

“Sudah?”

Suara Izzam mengejutkan Alila membuatnya hampir berteriak.

“Astagfirullah,” sebut Alila. “Ngapain sih?”

“Mau masuk, minggir.” Izzam berlalu ke dalam kamar mandi, meninggalkan Alila yang masih menggerutu kesal karenanya.

Tak lama Izzam pun keluar, rambutnya tampak basah tetapi tak sedikitpun mengalihkan perhatian Alila. Gadis itu bersikap seolah tidak menganggap keberadaan suaminya di sana. Hanya sibuk mengipas wajahnya, kegerahan.

“Mau hujan apa gimana, ya? Gerah banget!” gumam Alila melirik ke luar jendela.

“Kamu kalau tidur pakai gamis kerudung gitu?” tanya Izzam, terabaikan.

Alila tidak berminat menjawabnya, dia memang tidak terbiasa tidur dengan pakaian seperti itu. Namun, mengingat dirinya tak sendiri di kamar membuatnya waspada.

“Kalau ditanya itu dijawab,” ujar Izzam menghampiri Alila di tepi kasur.

“Nggak bisa.”

“Kenapa?”

“Ya, nggak nyaman saja,” balas Alila, ketus.

“Nggak nyaman sama pakaian atau nggak nyaman karena aku?” tanya Izzam, memastikan.

Alila diam sesaat, baru menjawab, “Aku nggak bisa tidur kalau ada kamu di kamar ini, nggak leluasa.”

“Oh,” tanggap Izzam. “Begitu, ya? Mau aku panggilkan bundamu buat temani kamu tidur?”

Alila merotasikan matanya malas meladeni, berbicara dengan laki-laki itu tidak akan ada habisnya.

Izzam menghela napas singkat kemudian berjalan menuju saklar di samping tempat tidur.

“Kamu bisa tidur dalam keadaan gelap, kan?” tanya Izzam lagi.

Alila melirik sekilas dan menjawab, “Bisa. Kenapa?”

Spontan Izzam menekan tombol saklar di sana hingga lampu kamar seketika padam menyisakan pencahayaan yang hanya bersumber dari lampu tidur.

“Ini mau di matikan juga?” tanya Izzam hendak memadamkan cahaya tersisa.

“Buat apa?”

“Dimatikan atau enggak?” tawar Izzam pada inti.

Alila yang bingung hanya menggeleng pelan, meski sudah terbiasa tidur dalam kondisi ruangan yang gelap, tetapi malam ini Alila merasa tidak nyaman dan harus mewaspadai laki-laki yang sayangnya telah sah menjadi suaminya itu.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang