20. Edukasi

147 24 3
                                    

Terminal Mandalika di Kota Mataram, bagaikan lautan manusia yang bergelombang. Deru mesin bis bercampur dengan suara pedagang asongan, menciptakan simfoni khas terminal. Di tengah hiruk pikuk, aroma kopi dan gorengan menguar, menggugah selera para penumpang yang baru turun dari bis. Di sudut terminal, para tukang ojek berjejer, menunggu penumpang yang ingin menuju tujuan selanjutnya. Di atas bus, para penumpang menyapa keluarga yang menjemput dengan senyum lebar, membawa cerita perjalanan yang baru saja mereka lalui.

Di balik keramaian, terpancar semangat dan harapan. Para perantau dengan tas ransel penuh mimpi, bersiap mengarungi kehidupan di kota baru. Di sisi lain, para perantau yang pulang kampung, membawa oleh-oleh dan cerita untuk keluarga tercinta. Terminal Mandalika, saksi bisu perjalanan para perantau, tempat pertemuan dan perpisahan, tempat mimpi dan kenyataan beradu.

Beredar mata memandang ke segala penjuru arah, Alila baru mengembuskan napas lega setelah meyakinkan kakinya berpijak di tanah rantauan, melewati drama perjalanan panjang yang cukup membuatnya kelelahan. Tetapi, belum sampai menghirup harup udara di sana Alila kembali dikabarkan tentang perjalanan selanjutnya, menuju tempat yang akan disinggahi selama di sana.

“Aku capek.”

Keluhan Alila terlontar setelah terhitung 1 jam perjalanan ke tempat yang dimaksudkan suaminya. Mereka tiba di sebuah komplek, tepat di mana mereka diturunkan mobil grab yang di depan sana berdiri bangunan kokoh sederhana bercorak warna hijau telur asin, terlihat elegan dipandang mata.

“Kita sampai, ayo masuk!” ajak Izzam berbalik badan ke arah Alila seraya mendorong koper milik istrinya itu.

“Ini rumah siapa?” tanya Alila menatap sekeliling rumah.

“Kontrakan, untuk sementara kita tinggal di sini.”

Alila mangut-mangut mendengarnya, sembari melanggang masuk mengekori suaminya ke sebuah kamar di mana kopernya diletakkan Izzam di sana.

“Pertahunnya bayar berapa?” tanya Alila lagi.

“Kemarin aku sewa tuntas untuk empat tahun masa pendidikan, kurang lebih sekitar tiga ratusan,” jawab Izzam seadanya.

Mata Alila membulat sempurna mengetahuinya. “Bukan tiga ratus ribu, kan? Ngaco banget harga kontrakan segitu.”

Izzam menaikkan kedua alisnya, menjawab, “Ya. Harga perumahan cukup mahal sekarang, di kota-kota besar biasanya lebih dari itu. Tapi, aku pikir uang segitu juga belum cukup buat bangun rumah sendiri di sini,” ujar Izzam berjalan ke arah kasur dan duduk di sana.

“Lebih mahalan bangun rumah sendiri sih. Terus, kalau diukur dari penghasilan kamu ... apa itu mencukupi?” tanya Alila sedikit hati-hati.

Izzam berpikir sejenak, baru membalas, “Dalam waktu dekat, masih bisa diupayakan. Apa lagi sekarang kamu juga jadi tanggung jawabku.”

“Aku nggak mau merepotkan siapapun, termasuk kamu, ya. Seandainya kita nggak nikah pun kamu pasti nggak bakal punya beban yang lebih dari sekadar mengurusi hidupmu sendiri, dan aku bergelut dengan kehidupanku sendiri,” tanggap Alila.

“Berhenti mengungkit persoalan itu Alila, nggak ada yang perlu disesali apa lagi harus berandai-andai. Semuanya sudah terjadi, kan? Aku mengerti di mana posisiku dan apa tanggung jawabku sekarang,” pungkas Izzam dengan wajah serius.

Alila tak menjawab, lebih memilih mengedarkan pandangannya ke segala penjuru ruangan.

“Alila,” panggil Izzam mengalihkan atensi sang istri.

“Iya?”

Izzam bangkit dari tempatnya, mengambil beberapa langkah mendekati sang empu.

“Kalau capek, tidur saja duluan,” kata Izzam.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang