“Kenapa dress code kamu beda sendiri dari maba yang lain?”
Pertanyaan terlontar dari bibir seorang perempuan berambut sebahu di hadapan membuat Alila terdiam seraya menelisik diri. Alila berpikir, tidak ada yang salah dari penampilannya.
“Sudah baca tata aturan pkkmb?” tanya Nabila─anggota panitia pada kegiatan tersebut.
Alila mengangguk, tegas menjawab, “Sudah, Kak.”
“Terus?” Matanya mengkilat tajam menatap tampilan Alila, menunggu jawaban dari gadis berhijab itu.
“Siapa yang menyuruhmu pakai gamis?” tanyanya sekali lagi dengan intonasi tinggi.
Alila terkejut mendengarnya, beberapa kali menghela napas tatkala merasa dirinya dikerdilkan oleh perempuan itu, sementara kakak tingkatnya yang lain hanya diam memperhatikan.
“Hei, saya bicara sama kamu!” tegur Nabila.
Alila mengembus napas singkat seraya angkat pandang menatap dan mengumpulkan keberanian untuk menjawab.
“Mohon maaf sebelumnya, Kak. Saya pikir aturan pkkmb terkhusus untuk aturan dress code bagi yang perempuan adalah memakai atasan berwarna putih dan bawahan berwarna hitam,” kata Alila.
“Iya, benar,” tanggap Nabila.
“Tapi, nggak dijelaskan secara detail bentuk atasan dan bawahan yang bagaimana, karena di sana memang tertera atasan dan bawahan dengan warna demikian saja.”
“Menggunakan kemeja putih berlengan dan rok berwarna hitam bagi maba perempuan,” pertegas Nabila.
“Iya, Kak. Tapi, nggak spesifik juga dikatakan bagaimana motif kemejanya, kan? Kemeja asal warnanya putih. Begitupun dengan rok, kalau diperiksa satu persatu mungkin banyak maba perempuan lainnya yang menggunakan rok dengan merek berbeda, ada yang pakai rok span, ada yang plisket, yang penting warnanya hitam. Nggak terkategori melanggar, kan?” pungkas Alila dengan wajah santai menjelaskan. Tidak dengan tangannya yang sudah panas dingin sejak tadi mendapat bantahan.
“Nah, itu gimana Nabil?” sahut seorang mahasiswa di seberang meja regist.
Untuk sesaat Nabila tak menjawab apapun. Namun, pasti tatapannya tak lepas mengawasi Alila.
“Jadi menurutmu redaksi aturan pkkmb yang disebar itu salah?” Bergilir Nabila bertanya.
Alila menarik bibirnya tersenyum ramah kemudian membalas, “Saya nggak bilang begitu, Kak. Aturannya nggak salah karena saya rasa kegiatan ini bukan sesuatu yang baru diselenggarakan di kampus ini. Hanya saja yang sedang kita bicarakan adalah berkaitan tentang bagaimana cara kita merespons sebuah aturan,”
“Kalaupun saya salah menanggapi aturan tersebut berarti saya beruntung mendapat teguran. Tapi, kalau kembali kepada tata aturan berpakaian tadi, saya rasa bukan suatu masalah yang harus dibesar-besarkan. Toh, seandainya ospek tahun depan diarahkan untuk memakai seragam putih-putih, bisa jadi ada maba yang datang dengan menggunakan kain kafan,” lanjut Alila. Tanggapannya itu langsung dihadiahi kekehan dari mahasiswa di sekitar terutama para kakak tingkatnya.
Jauh berbeda dari Nabila yang sudah unjuk tanduk tak terima diledek demikian.
“Maksud kamu apa?” celetuk Nabila.
Alila melirik. “Semuanya kembali kepada perspektif masing-masing, Kak.”
“Sudah-sudah, Alila silakan masuk. Kamu sudah terlambat dari tadi!” titah kakak tingkatnya tadi.
Alila mengangguk patuh, kemudian bergegas masuk ke dalam audit. Berdebat dengan kating tadi cukup menyita banyak waktu Alila, sehingga dia kesulitan mencari barisan teman satu fakultas. Beruntung ada kating lain yang mengarahkan dan bisa bernapas lega ketika acara berlangsung sejak tadi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
SpiritualTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...