03. Nikah Mut'ah?

284 32 2
                                    

Dengan langkah gontai, Alila menyambut pagi yang kembali menyapa dengan sinar mentari yang malu-malu. Tatapan matanya meredup, seolah-olah kehilangan semangat hidup. Hatinya terasa berat membawa beban yang tak kunjung hilang. Namun, ia tetap melangkah, berharap hari ini akan membawa perubahan yang lebih baik, meski senyum di wajahnya sulit untuk terkembang. Bagaimana tidak? Sepanjang malam Alila mengurung diri menangis di kamar, dan pagi ini dia seolah kehabisan tenaga. Perut yang lapar membawa langkahnya menuju dapur, memulai sarapan di meja makan tanpa menunggu anggota keluarga lain.

Alila sedang tidak ingin diganggu untuk saat ini sampai kedatangan bunda pun tidak dia tanggapi. Usai sepotong roti dan segelas susu dia habiskan, Alila memilih meninggalkan meja makan. Namun, belum juga mengambil langkah pertama, Alila kembali berhenti begitu terpikirkan sesuatu.

Kembali melirik ke arah bunda, Alila baru membuka suara berkata, "Boleh Alila minta bantuan Bunda?"

Bunda Hana menatap Alila sepintas sembari menyiapkan peralatan makan di meja. "Katakan."

Alila menarik ujung bibirnya tersenyum tipis hampir tak terlihat. "Sebenarnya lebih ke permintaan, Bun."

Menghentikan aktivitasnya sejenak, bunda Hana kembali melempar pertanyaan, "Apa itu?"

Terdiam sesaat, gadis berkerudung hijau itu baru berucap, "Maaf. Alila minta maaf kalau kemarin sempat menyinggung perasaan Bunda. Alila harap Bunda mau maafin Alila."

Bunda tertegun, tetapi tetap memilih diam.

"Setelah dipikir-pikir juga memang nggak ada gunanya Alila membantah, mungkin keputusan untuk menikahkan Alila adalah yang terbaik bagi ayah dan Bunda. Tapi, bolehkah Alila tahu alasan Bunda bersikeras untuk itu?" lanjut Alila dengan mata kembali berembun. Mengulum bibirnya tersenyum kecut.

Dalam sesaat bunda Hana tak menjawab, dia baru menyahuti ketika selesai berkutat dengan beberapa peralatan makan. Wanita itu tersenyum tipis, terkesan ramah dengan gerak tangannya mengusap pipi sang putri.

"Nggak ada orang tua yang menginginkan keburukan untuk anak-anak mereka, dan itu menjadi alasan pasti mengapa kami memutuskan untuk menikahkanmu," ucap bunda lembut.

"Alila masih nggak ngerti, Bun."

Bunda Hana tersenyum lagi. "Nak, kamu tahu, kan, bagaimana perkembangan zaman sekarang? Pergaulan yang semakin bebas salah satunya. Yang salah bisa jadi benar, bahkan diwajarkan tampak. Perzinaan menjadi lumrah, pemerkosaan kasusnya beredar di mana-mana tanpa adanya penyelesaian. Bunda khawatir, Al. Terlebih hukum di negeri ini nggak ada yang benar-benar bisa menjamin ketentraman hidup seluruh masyarakat. Bunda nggak mau kalau sampai terjadi apa-apa sama kamu."

"Tapi, Alila bisa jaga diri, Bunda."

"Maaf, Nak. Tapi, Bunda meragukan itu. Buktinya kemarin saja kamu pulang dengan kendisi yang menyedihkan. Nggak tahu apa yang sudah terjadi, Bunda mengkhawatirkan kejadian seperti itu terulang. Apa lagi kamu mau lanjut kuliah, berat bagi kami untuk melepasmu ke luar, Al. Seenggaknya harus ada orang yang benar-benar bisa memantau dan menjaga kamu di mana pun kamu berada," balas bunda dengan wajah sendu. "Jadi, tolong percaya sama Bunda. Semua itu untuk kamu, Al, untuk kebaikan anak Bunda."

Alila tercenung, dia mulai mengerti maksud orang tuanya. Tetapi, entah mengapa sisi lain dalam dirinya tetap membantah, menyerukan ketidaksetujuannya jika harus menikah di usia muda. Alila berpikir, pernikahan justru mengekang dirinya, menghambat cita-cita dan masa depan.

"Baik, Bun. Alila mengerti, tapi boleh Alila minta satu hal lagi? Please!"

Bunda berpikir sejenak sebelum akhirnya mengiakan. "Apa itu?"

"Alila pengin ketemu orang yang jadi calon suami Alila. Bolehkan, Bunda?"

***

Kedua alis tebal milik laki-laki itu bertaut heran, embusan napasnya terdengar berat disusul geraknya menempati sofa putih di ruangan luas itu. Telinganya pekak mendengarkan penuturan lawan bicaranya di seberang telepon, tak ada kalimat sanggahan yang lolos sampai orang di seberang selesai berbicara.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang