04. Rencana Buruk

223 27 4
                                    

Izzam melanggang lebar dari keramaian, tepatnya menghindari Alila yang kini mengejarnya di belakang sana. Gadis aneh yang bercakap semaunya, jauh dari yang Izzam bayangkan. Mungkin wajar baginya protes karena merasa terkekang dengan perjodohan yang diputuskan, tetapi bukan berarti Alila dapat berlaku tidak sopan terlebih dengan menawarkan kontrak nikah seolah pihak laki-laki begitu mengemis kepadanya untuk menjadi pendamping Zidan, pikir Izzam dengan batin menggerutu kesal.

"Bisa berhenti sebentar nggak?" Suara Alila melengking di seberang, tetapi tampaknya Izzam tak mau mendengarkan.

Alila terus mengejar sampai langkahnya berhasil menyamai Izzam lalu menghadang jalannya.

Izzam berubah menatapnya dingin.

"Pembicaraan kita belum selesai," kata Alila dengan napas terengah-engah.

"Kalau yang dibahas seputar kontrak nikah, baiknya kamu temui calonmu secara langsung," ucap Izzam.

"Jadi, kamu benar-benar bukan Zidan?" Alila masih tak percaya pengakuan laki-laki di hadapannya. Tidak menyangka jika dia telah salah sangka.

"Panggil dia dengan sebutan 'mas', belajar sopan santun karena dia lebih tua usianya darimu," celetuk Izzam.

"Apalah, terserahmu saja. Sekarang kembalikan map itu!" titah Alila.

Kedua alis Izzam bertaut heran, dia memang membawa map tersebut untuk ditunjukkan kepada Zidan dan keluarganya.

"Kenapa aku harus mengembalikannya? Bukannya calon suamimu harus tahu? Lagian dia setuju atau enggak itu urusan belakangan," balas Izzam.

"Kamu nggak bakal ngerti!" pekik Alila hendak merebut map itu, tetapi Izzam lekas menghindar.

"Kenapa?"

"Balikin mapnya!" pinta Alila, sebal.

"Enggak."

"Sini!"

Izzam menggeleng kuat enggan menatap gadis di hadapannya. "Bilang dulu, kenapa aku harus kasih map ini ke kamu?"

"Perlu, ini punyaku!" pertegas Alila.

"Zidan juga perlu. Perlu tahu kalau begini aslinya Alila Sheinnahla," cibir Izzam.

"Nggak usah ikut campur." Alila melempar tatapan sengit.

"Berhak. Kamu masih bukan siapa-siapa Zidan, sementara aku adalah keluarganya," tukas Izzam.

Izzam menarik kakinya melalui Alila yang terlihat kesal tak terima, tidak lagi mengejar hingga percakapan usai sore itu.

Menjelang malam di kediaman Junaid dan keluarga diperlihatkan bunda di depan teras rumah, menunggu kepulangan anak-anaknya. Mereka pergi sebelum sore hari dan sampai saat ini belum juga kembali. Bunda Hana risau, perasaannya benar-benar tidak enak. Berulang kali kontak Khadafi dihubungi, tetapi belum ada respons sama sekali membuat bunda sulit berpikir jernih.

Bising suara motor kemudian terdengar mengalihkan atensi bunda Hana begitu didapatinya Khadafi pulang, bukannya senang bunda Hana justru menyambutnya dengan tatapan heran. Pertanyaaan berputar di kepalanya tak melihat Khadafi bersama adiknya.

"Assalamu'alaikum, Bunda," sapa Khadafi.

"Wa'alaikumussalam. Daf, Alila mana? Kok, nggak sama kamu?" tanya bunda pada inti.

Khadafi menampilkan raut tegang. "Loh, dia nggak diantar sama calonnya, Bun?"

"Astagfirullah, Khadafi. Jadi kamu ninggalin Alila?" celetuk bunda Hana, terhenyak.

"Enggak, Bun. Tadi Alila sendiri yang nolak pulang bareng, katanya mau diantar sama calon suaminya," perjelas Khadafi, Alila memang sempat mengatakan itu tadi di taman saat dia hendak mengejar calon suaminya.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang