“Habis dari mana?”
Tiba di mobil Alila langsung disembur pertanyaan oleh Izzam. Diliriknya lekat. Benar, sebuah kekhawatiran tergurat di wajah, mata legamnya seolah menuntut jawaban dari pertanyaan yang beberapa detik lalu terlontarkan.
“Kenapa?” Alila mempertanyakannya.
“Aku sampai keliling masjid cari kamu,” tutur Izzam sembari menyugar rambut. Mengalihkan sorot sejenak, membuang napas lega.
“Untuk?”
Alila begitu bingung dengan sikap Izzam, berpikir terlalu berlebihan jika dia mengkhawatirkannya. Tetapi, yang ditanya justru diam menatap sesaat, lantas membuka pintu mobil. Tanpa kata meminta sang istri masuk ke dalam.
Menurut, Alila pun tak ingin ambil pusing dengan perlakuan Izzam. Pertemuan dengan Vika sudah cukup membuat pikiran terbebani. Sepupunya telah berubah secepat itu.
“Suara perempuan saat ini nggak begitu dianggap dan penting didengarkan, Al. Kedudukannya selalu dinomor duakan setelah laki-laki, sehingga nggak jarang muncul stigma negatif yang menyatakan bahwa perempuan itu lemah. Perempuan nggak pantas ini itu, diragukan potensinya ketika mencampuri suatu urusan. Perempuan itu dipimpin, bukan memimpin.”
“Aku paham, kok, Vik. Memang benar adanya. Cuma kita nggak bisa menafikkan bahwa Laki-laki itu memang pemimpin bagi perempuan. Alqowamu 'alannisaa,”
“Bukan berarti kita akan terkekang di bawah kendalinya laki-laki, kan? Jangan gegabah mengambil ayat secara kontekstual saja,” tutur Vika, merangkul Alila. “Di dalam Islam juga menjunjung tinggi kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Kita bisa setara dengan laki-laki.”
Alila ingat betul kebersamaan kala itu bersama Vika, si perempuan berparas cantik dengan sisi kain kerudung yang menjuntai indah dari kepalanya. Dia pernah setertutup itu dahulu, lantas ke mana hijabnya sekarang? Terkaan Alila terus membenak.
“Tanya saja aku!” titah Izzam tiba-tiba membuat kerutan terlihat di kening sang istri.
“Wajahmu menunjukkan kebingungan,” lanjutnya.
Alila menggaruk pipinya, dia baru tersadar sejak tadi Izzam terus mengawasi sembari menyetir.
“Entah, bingung juga mau nanyanya dari mana dulu,”
“Sebanyak apa kebingunganmu?”
“Banyak.”
“Satu persatu,”
Alila melirik dari ekor matanya, dengan cemberut dia lantas menoleh pada sang suami. Dalam beberapa saat Izzam menunggu Alila memulai pembicaraan, tetapi Alila justru bergeming.
“Apa?” tanya Izzam.
“Bagaimana definisi kesetaraan dari sudut pandang Islam?”
Melirik sekilas, Izzam baru kemudian membalas, “Aku pernah jawab pertanyaan itu kalau kamu lupa.”
Alila tersinggung, dia terdiam sesaat. Raut lesunya mudah tertebak oleh Izzam, seolah ada sesuatu yang tengah membebani pikiran Alila. Cukup menarik perhatian Izzam untuk mengetahuinya.
“Setara dalam perspektif Islam adalah ketika kita diberi potensi yang sama oleh Allah, kemudian dengan potensi tersebut dapat kita pergunakan untuk beramal, dan buah dari amalan itulah yang kelak jadi pembeda antara manusia satu dengan manusia lainnya.”
“Aku tahu, tapi kenapa keduanya berbeda?” sela Alila menatap remang ke depan.
“Kamu mendapat maklumat lain dari selain Islam?” tebak Izzam pada inti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
SpiritualTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...