Hari berikutnya Izzam pergi menemani Alila ke pusat perbelanjaan membeli beberapa barang keperluannya selama masa ospek berlangsung. Ya, tidak lama lagi setelah resmi diterima di PTN dengan lika-liku perjuangan yang dilakukan, pihak kampus akhirnya mengeluarkan surat edaran kegiatan pengenalan kehidupan kampus bagi mahasiswa baru. Alila dengan penuh semangat untuk menyambut saat-saat itu meski kadang kala sang suami tak tinggal diam me-roasting.
“Nggak usah berlebihan, senangnya cuma di ospek sama wisudah doang. Selebihnya palingan tepar dibantai tugas dengan segala drama perkuliahan lainnya,” sindir Izzam saat mengikuti Alila mengelilingi mal.
Alila seketika melempar tatapan horor ke arah Izzam, telinganya cukup panas mendengar sahutannya sejak tadi.
“Urusan itu gampang, nikmati saja dulu prosesnya.”
Izzam tersenyum remeh seraya membeo, “Nikmati proses katanya.”
“Sirik nggak usah bilang!” celetuk Alila sembari membawa langkah menuju toko baju, tetapi berhenti begitu kerudungnya ditarik sang suami.
“Apa sih?” protes Alila.
“Mau ke mana?”
“Beli!”
“Beli ini dulu yang penting!” kata Izzam menarik tangan istrinya.
Mereka tiba di lantai atas di mana berjejer banyak rak buku di sana. Tempat itu cukup tenang meski dengan banyak pengunjung, Alila memperhatikan sejenak baru kemudian ditarik Izzam untuk mengikutinya.
“Masa aku harus beli tali?” gumam Izzam.
“Buat apa?” sahut Alila mengekorinya.
“Buat ikat kamu, biar nggak ketinggalan terus!” balas Izzam membuat Alila memberenggut.
Izzam terkikik melihat perubahan ekspresi Alila, kemudian membawanya berhenti di sebuah rak buku.
“Pilih beberapa yang kamu butuh,” titah Izzam.
Alila menatap sekilas kemudian melirik ke sebuah buku yang menarik perhatiannya. “Ini aku suka.”
Izzam meraih sebuah itu dan melihat-lihat sebentar lalu meletakkan buku dengan cover kartun kesukaan anak-anak tersebut pada tempatnya.
“Aku bilang ambil yang kamu butuh,” perjelas Izzam.
“Aku mau yang itu,” balas Alila.
“Itu yang kamu suka.”
“Apa bedanya? Nantinya juga bakal sama-sama dipakai buat nulis!” pungkas Alila kembali meraih buku tadi bahkan mengambil lebih dari satu.
Izzam hanya bisa menarik napas melihat sisi kekanak-kanakan Alila, lalu ikut mengambil beberapa buku tebal dengan beberapa alat tulis lain.
“Itu buat aku juga?” tanya Alila sesaat memperhatikan gerak-gerik sang suami.
“Hem.”
“Buat apa beli banyak?”
“Kamu bakal butuh ini nanti, jadi apa salahnya beli?”
“Dari mana kamu tahu?” tanya Alila lagi.
Izzam sekilas melirik lalu menjawab, “Seenggaknya ada persediaan sebelum aku nyuruh.”
Alila mengerutkan kening tidak mengerti, dan tidak bertanya lagi sampai akhirnya mereka tiba di kasir untuk membayar belanjaan mereka malam ini, kemudian pulang ke rumah dalam waktu tempuh 20 menitan.
Tiba di rumah Alila langsung memasuki kamar lalu berbaring melepas rasa lelah, jauh berbeda dari Izzam yang mesti berkutat dengan laptop dan ponselnya. Alila memaklumi Izzam memang sibuk akhir-akhir ini, lelah sudah pasti tetapi Alila belum pernah mendapati dia mengeluh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
SpiritualTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...