32. Sahabatan

124 14 0
                                    

“Aku yakin bukan karena sebab aku nyinggung soal perceraian yang bikin kamu sampai marah semalam.”

Pembicaraan masih terus berlanjut bahkan saat sarapan di pagi berikutnya sebelum kedua insan itu berangkat ke kampus. Izzam dengan tenang menyantap sarapan, tidak dengan Alila yang terus mengulik persoalan Izzam.

“Kita ini suami istri loh, kamu nganggap aku nggak sih?” celetuk Alila.

Izzam menarik sudut bibir tersenyum tipis, melepas sendok di tangan lalu duduk seraya melipat jari jemarinya.

“Sebaliknya. Bagaimana aku bisa menerimamu sepenuhnya menjadi tempat aku menceritakan seluruh beban di kepala, sementara di setiap ada peluang pendekatan kamu justru memberi respons dengan sebuah ancaman perpisahan?” ungkap Izzam, meskipun wajahnya terkesan santai membalas tetapi tertebak berhasil menyinggung sosok di hadapan.

Alila bungkam dibuatnya, sehingga dalam beberapa saat hening menyela.

“Aku nggak bermaksud menyinggungmu, apa lagi terus-terusan membahas masalah ini. Tapi, tolong pikirkan dengan baik, pernikahan ini bukan sesuatu main-main,” tutur Izzam dengan suara pelan terdengar. “Okelah, sejak awal kamu memang belum siap untuk semuanya. Menjalankam tugas sebagai seorang istri dan taat sebagaimana mampumu pada suami, aku nggak memaksakan keadaan kamu untuk itu. Aku cuma pengin kita menjalani hubungan ini selayaknya kita bersahabat.”

“Aku nggak pernah sahabatan dengan laki-laki tapi,” sahut Alila sekilas melirik.

Izzam semakin lebar tersenyum, perlahan meraih tangan sang istri.

“Kalau gitu biar aku jadi yang pertama,” kata Izzam.

Alila mendongakkan wajah menatap dalam manik mata Izzam, mencari kesungguhan terhadap apa yang dia ungkapkan. Melirik tangan mereka yang saling bertaut, Alila mendadak gagu lalu cepat-cepat menarik tangannya kembali.

“Jangan terlalu dipikirkan, apa lagi dianggap beban. Saling terbuka satu sama lain bukan suatu persoalan yang dapat menurunkan standar diri, aku manusia kamu pun manusia. Kita sama-sama punya kekurangan,” ujar Izzam kembali melanjutkan sarapan.

Sejenak Alila tak membalas, sesuatu masih mengganjal di hatinya dan butuh jawaban.

“Yang kemarin itu, kamu marah sama aku?” tanya Alila kemudian.

Izzam meletakkan gelas setelah meneguk habis isinya dan membalas, “Bukan.”

“Lalu?”

“Bukan persoalan besar,” kata Izzam.

“Kamu ngelak lagi,” celoteh Alila dengan malas menghabiskan sisa sarapannya.

Setelah pembicaraan di meja makan pagi itu mereka pun bergegas dari rumah berkendara menuju kampus, estimasi mereka tiba lebih telat dari hari sebelumnya. Begitu sampai di parkiran Alila pun tak langsung turun menyadari di depan sana terdapat banyak kakak tingkat mereka.

“Ayo,” ajak Izzam.

Alila menatap ragu. “Aku nggak berani, rasanya mulas.”

Alis Izzam menukik satu, dia tidak mengerti. “Kamu duluan kalau gitu.”

Alila tidak menjawab, dan pasti turun dari mobil tersebut. Sesuai arahan berjalan lebih dulu sementara Izzam mengekorinya di jarak 2 meter. Entah karena terlampau gugup Alila merasa tidak nyaman dengan perut yang terasa mulas dengan langkah yang ikut memelan, pintu masuk gedung auditorium jadi terasa amat jauh baginya sekarang.

Izzam menyadari keanehan dari Alila terus memantau dari jarak ini, kedua alisnya tertaut heran memikirkan sesuatu dan tanpa lama-lama langsung melepas almamaternya dengan langkah dipercepat menghampiri Alila.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang