11. Malam Pertama

130 21 0
                                    

“Saya harap Ayah mengerti dengan keputusan ini.”

Izzam melanjutkan pembicaraan di teras depan rumah sepulang ibadah isya di masjid tadi. Menyampaikan maksudnya pada Junaid mengenai usulan keberangkatannya dan Alila setelah sepekan pernikahan.

Izzam adalah mahasiswa aktif di kampusnya, beberapa amanah diemban oleh Izzam baik di bidang akademik dan organisasi kemahasiswaan. Tidak dapat mengambil cuti semaunya apa lagi dalam waktu dekat pelaksanaan PKKMB akan diselenggarakan di kampus tempatnya menempuh pendidikan, Izzam juga memegang amanah tersendiri sebagai salah satu ketua kementerian dalam organisasi mahasiswa; Badan Eksekutif Mahasiswa, yang mana tugasnya tidak lepas dari mengkoordinasikan kegiatan mahasiswa dan anggota di bawahnya sebagai pimpinan.

Menanggapi pernyataan Izzam, Junaid justru melempar pertanyaan, “Kamu dan Alila satu kampus, ya?”

Izzam terdiam sesaat, dia tidak tahu tentang hal itu.

“Kalau iya, silakan saja. Lagi pula Alila sekarang sudah jadi tanggung jawab kamu, sebagai suami kamu berhak membawanya ke mana pun kamu pergi,” ucap Junaid, merasa Izzam tidak harus meminta izin untuk itu.

Izzam mengangguk pelan, tak ada sanggahan sampai ayah mertuanya kembali berbicara.

“Tapi, kalau di sana kamu tinggalnya di mana?” tanyanya.

“Kalau sendirian saya ngontrak, tapi karena sekarang ada Alila bisa sambil-sambilan saya usahakan untuk punya rumah sendiri, mohon do'anya saja,” balas Izzam. Dia memang belum memiliki persiapan karena fakta selalu mengingatkan pernikahan ini terjadi secara mendadak.

Junaid mangut-mangut mendengarnya, menepuk pundak Izzam seraya berkata, “Pelan-pelan saja usahanya, jangan begitu dipaksakan. Nanti kalaupun butuh sesuatu jangan sungkan hubungi kami di sini.”

“InsyaaAllah, dalam bentukan materi masih bisa saya usahakan. Saya paham tugas dan tanggung jawab saya sebagai suami, bagaimana pun ke depannya kami hanya butuh dukungan Ayah dan bunda sebagai orang tua,” ucap Izzam, meyakinkan.

“InsyaaAllah, Zam. Kami selalu ada untuk kalian,” balas Junaid, “dan terima kasih untuk semua pengorbanan kamu. Sejujurnya kami hanya bisa pasrah, ketakutan itu selalu ada ketika kami lalai menjalankan tugas selaku orang tua. Mungkin dengan hadirnya kamu, Alila bisa terarah menjadi pribadi yang baik.”

“Ehm, maaf, Yah. Memangnya, Alila itu nggak baik, ya?” tanya Izzam dengan hati-hati.

Junaid seketika gagap mendengar pertanyaan Izzam. “Ng-nggak begitu juga, Alila sebenarnya anak yang baik. Cuma ... tahulah alasan kami menikahkannya karena apa, kamu juga sudah dengar sendiri waktu itu.”

Izzam menganggukkan kepalanya beberapa kali, tersenyum menanggapi balasan ayah mertua.

Setelah pembicaraan singkat malam itu Izzam beranjak masuk bersama Junaid, di mana kedatangan mereka disambut keberadaan Hana dan Khadafi yang mengajak mereka makan malam bersama.

“Ayo, Izzam,” ajak Khadafi.

“Iya, Mas,” balas Izzam. Namun, tetap bertahan di posisinya melirik ke beberapa penjuru ruangan tampak mencari sesuatu.

Bunda Hana yang sadar pun menegur Khadafi dengan suara pelan, “Daf, Alila mana?”

“Nggak tahu, Bun. Di kamarnya mungkin,” kata Khadafi.

“Panggilin dong,” titah bunda Hana.

Izzam melirik Khadafi dan menyahuti, “Biar saya saja, Bu. Masnya makan saja.”

“Oh, nggak pa-pa aku saja,” ujar Khadafi hendak bangkit dari kursi.

“Iya, Izzam duduk di sini,” tambah bunda Hana.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang