Alila melepas pandang pada birunya langit pagi itu, sedikit rasa bosan menyelimuti hatinya karena sejak tadi hanya mengurung diri di kamar yang masih terasa asing baginya. Setelah perdebatan pagi tadi Izzam juga tak kunjung kembali, entah ke mana dia. Alila berpikir laki-laki yang telah sah menjadi suaminya beberapa hari lalu itu marah kepadanya. Namun, Alila tetap pada pendirian dan meyakinkan dirinya tentang apa yang dia sampaikan adalah benar.
“Aku nggak salah, kok. Cuma menawarkan saja, lagian aku mana mau kelak dia bakal menikah lagi di saat aku masih berstatuskan istrinya, kalaupun kejadian seenggaknya aku diceraikanlah,” gerutu Alila memilin ujung hijabnya dengan perasaan dongkol.
Matahari sudah naik beberapa jengkal di atas kepala, perut Alila mulai terasa keroncongan dan bukannya turun untuk mencari apa-apa yang bisa dimakan dia justru merutuki Izzam, saat bersamaan Izzam baru kembali ke kamarnya.
Alila sontak berdiri dari tempat, menatap sengit ke arah suaminya.
“Sekalian saja nggak balik!” celetuk Alila.
Izzam melirik heran, baru masuk kamar tetapi sudah langsung disembur omelan Alila.
“Kenapa?”
“Masih kamu nanya kenapa?” Alila jengkel, matanya berkaca-kaca karena memendam kekesalan sejak tadi.
Izzam menghela napas berat tak berniat membalas sampai sang empu menghadap sepenuhnya.
“Suami macam apa kamu, tega bikin istri kelaparan?”
Pupil Izzam melebar mendengarnya, dia tidak terpikirkan itu setelah memilih membiarkan Alila menenangkan diri di kamar.
“Kamu nggak makan?” tanya Izzam memastikan.
“Kamu pikir aku makhluk spesies apa nggak butuh makan dan minum?”
Izzam memutar netranya malas mendengar ocehan Alila, gadis itu tidak akan pernah berhenti mengomelinya.
“Ya sudah, ayo!” lerai Izzam mengajaknya.
Alila memanyunkan bibirnya cemberut. “Ke mana?”
“Dapur. Mau makan, kan?” balas Izzam.
“Di sini, kan, bisa. Aku nggak enak sama orang-orang sini,” kata Alila berubah memelas.
“Gampang, dienakin saja!”
Alila kembali memasang raut masam membuat Izzam lagi-lagi menghela napas panjang.
“Nggak bakal ada yang makan kamu di sini, tinggal ke dapur doang, makan. Apa susahnya?” bujuk Izzam.
“Nggak susah kalau ngomong saja, aku loh yang merasa nggak enakan,” celetuk Alila.
“Makanya, latih diri untuk berbaur dengan orang-orang ndalem. Kalau kamu terus-terusan merasa nggak enakan begini, yang ada pingsan kamu karena kelaparan, siapa lagi yang nanti disalahkan? Aku, kan?” pungkas Izzam.
“Kamu cerewet banget sih,” gumam Alila.
“Dibilangin baik-baik malah dikatai, dasar istri shalihah!” balas Izzam menoyor kening istrinya.
“Apa sih?!” protes Alila memberenggut.
“Jadi mau makan nggak?”
“Jadilah, di sini tapi,” kata Alila.
“Nggak, di dapur!” pertegas Izzam hendak menariknya keluar kamar.
“Jangan maksa gitu dong. Aku benar-benar belum siap, aku nggak enak ketemu sama orang tuamu,” ucap Alila menggenggam tangan Izzam.
“Mereka nggak bakal ngapa-apain kamu, Alila,”
“Aku belum terbiasa, Mas,” rengek Alila menekan panggilannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
SpiritualTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...