“Alila!”
Izzam memanggil beberapa saat setelah bunyi klakson motor terdengar di pekarangan. Dapat Alila tebak ke mana tujuan Izzam pertama kali, tentu mencari keberadaannya di kamar mereka, sementara Alila bergeming di dapur.
“Kenapa nggak nyahut?”
Langkah Izzam terhenti begitu mendapati Alila di meja makan. Alila melirik sepintas tanpa sedikitpun berniat menjawab, tanpa meminta penjelasan kali ini Izzam sadar letak kesalahannya di mana.
Izzam telaten menempati kursi berhadap-hadapan dengan sang istri, lalu membiarkan hening mengambil celah di antara mereka. Sekitar 5 menit lamanya, kedua insan tersebut bertahan dengan pikiran masing-masing. Tidak ada yang membuka suara berbicara, Izzam masih tetap pada posisinya menatap lamat subjek di depan.
“Alila.” Sekali lagi Izzam memanggil, kali ini direspons lirikan nanar dari sang istri.
“Kenapa pulang?” Alila bertanya dengan air muka masam.
“Tadi mampir di cafe samping kampus, sama koas lainnya.”
Melirik sekilas, Alila menimpali, “Kok, nggak berkabar?”
Izzam tak menjawab.
“Tadi juga, kenapa ada perempuan yang jawab telepon dari aku?” tanya Alila lagi.
“Hape aku ketinggalan tadi pas mau ke musala,” jawab Izzam seadanya.
“Oh,” tanggap Alila dengan wajah cemberut. “Kamu tahu aku masih baru di sini, tapi kamu justru seenaknya ninggalin aku sendirian. Mana pulangnya malam, gimana kalau terjadi apa-apa?”
“Maaf,” ucap Izzam merasa bersalah, berharap kali ini Alila mau memaklumi. “Lain kali nggak aku ulangi.”
“Jangan mudah berjanji, tadi juga kamu janji tapi ujungnya diingkari.”
Izzam hanya mengangguk pelan sebagai balasan, sejatinya tak lagi dapat menyanggah.
“Terus, mana punyaku?” tagih Alila.
Seketika Izzam terkesiap, dia baru teringat sesuatu.
“Seblak punyaku mana, Mas?”
Menyengir lebar, Izzam lantas membalas, “Enakan makan langsung di tempatnya nggak sih?”
Mata Alila kemudian menyipit penuh selidik, melihat dari gerak-gerik suaminya dan cengiran kikuk yang ditampakkan dapat dia tebak Izzam lupa titipannya.
***
“Gimana tampilanku? Bagus?”
Melirik ke seberang pintu kamar, perhatian Izzam yang baru saja selesai melaksanakan salat isya teralih pada Alila yang kini dengan wajah semringah memperlihatkan tampilan dengan mengenakan gamis berwarna abu-abu dan kerudung pasmina yang kedua sisi kain disampirkannya pada kedua bahu. Izzam menyerngitkan dahi memerhatikan Alila.
“Dipandang dari sudut dimensi manapun cocok-cocok saja, cuma ada yang kurang,” tutur Izzam sembari melepas kopiah.
“Apa?” Alila menilik-nilik tampilan sendiri. “Nggak ada yang kurang, kok, lengkap menutup aurat.”
“Belum sepenuhnya syar'i, Sayang,” pungkas Izzam.
Laki-laki itu mendekat seraya meraih kedua sisi kerudung Alila membuat gadis itu tertegun. Sejenak diperhatikan Izzam begitu telaten mementul kedua sisi kain tersebut sehingga full menutup juyub (dada).
“Nah, ini baru syar'i,” ucap Izzam dengan senyum tipis terukir.
“Ish, kamu apa-apaan sih, Mas? Ini style kerudung terbaru loh, aku pengin coba,”
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
SpiritualTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...