21. Diskusi

140 19 0
                                    

Sore hari Alila hanya menghabiskan waktu di kamar, merapikan pakaiannya dari koper ke dalam lemari pakaian yang semula milik suaminya. Tentu saja mereka mau tak mau harus berbagi tempat meski sebelumnya harus melalui diskusi panjang.

"Aku nggak mau tahu, pokoknya setelah pulang nanti harus beres semua barang-barangmu." Begitu yang dituturkan Izzam saat melihat nakasnya setengah hampir penuh oleh beragam jenis kerudung milik istrinya.

"Persoalannya aku nggak mau kalau harus selemari pakaian sama kamu, nanti ketukar gimana? Ribet, kan? Lagian kalau kamu rela, ya sudah, pakaianmu saja yang di luar biar pakaianku di sana," celetuk Alila tak mau mengalah.

"Nggak, nggak bisa! Masukkan pakaianmu ke dalam lemari, sisihkan tempatnya buat pakaianku," balas Izzam, kekeuh.

Alila yang hendak protes terhalang begitu Izzam kembali menyahut, "Nggak ada penolakan. Awas!"

Gadis itu memberenggut, tampak sekali kekesalan di wajahnya. Namun, tak dapat berbuat apa-apa mengingat di sini pun dia hanya numpang, pikirnya.

"Yang ini juga!" Izzam menunjuk ke arah tempat tidur di mana alat make up Alila berserakan di sana. Dia menghela napas seolah kehabisan kata-kata.

"Sudah sih, biarin saja di situ!" kata Alila.

Izzam menggeleng kuat. "Mau diberesin sekarang atau buang?"

"Eeh!" seru Alila.

Helaan napas terdengar di sana, Alila yang baru menyelesaikan pekerjaannya sembari bernostalgia di momen beberapa lalu bersama Izzam membuat kepalanya terasa panas. Beruntung kamar usai dikemasnya rapi-rapi sore ini sehingga dia masih memiliki banyak waktu untuk istirahat.

"Alila,"

Gadis berkhimar cokelat dengan wajah cemberutnya menoleh pada sumber suara, menggerutu dalam hati begitu mendapati kemunculan Izzam di ambang pintu. Alila bersikap acuh tak acuh, dan tetap memilih berebah di atas kasur empuk tersebut.

"Sudah beres?" Pertanyaan kembali terlontar dari mulut Izzam setelah beberapa saat tak mendapat balasan.

Respons yang sama masih diperlihatkan Alila membuat Izzam berulang kali menghela napas, dia berjalan ke arahnya kemudian mencubit pelan kaki istrinya itu.

"Awh! Apaan sih?" Alila yang sempat terpejam sontak bangkit dari baringan, melempar tatapan sengit pada Izzam.

"Kalau ada yang ngajak bicara, itu ditanggapi," ucap Izzam menatapnya datar.

"Kan, kamu bisa lihat sendiri gimana kondisi ruangannya. Rapi, kan? Ya, ngapain nanya? Niat banget basa-basi!" pungkas Alila, sebal.

"Perhatikan adabmu saat bicara, Alila."

"Buat apa? Kamu saja nyubit orang sembarangan, beradabkah itu namanya?" celetuk Alila.

"Itu teguran."

"Berdalih," gumam Alila.

"Berdalil. Kamu nggak memfungsikan mulutmu untuk menjawab ketika ditanya," tangkas Izzam menjawab.

Alila mendongakkan wajah, tetapi tidak mengatakan apapun lagi sampai dia beranjak dari tempat tidur.

"Cepat siap-siap, aku tunggu kamu di luar," ujar Izzam kemudian.

Alila menoleh dan bertanya, "Ke mana?"

"Siap-siap saja dulu, nanti juga tahu sendiri," balas Izzam dan berlalu dari kamar.

Tak cukup setengah jam menunggu, Izzam terus-terusan melirik ke arah pintu saat dirinya menstater motor berharap orang yang ditunggu keluar dari dalam rumah.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang