25. "Ayo Bercerai!"

90 14 0
                                    

Beberapa hari setelah pertemuan dengan saudaranya Alila merasakan betul perubahan sikap Izzam, tidak seperti biasanya banyak bicara dan kadang usil tingkahnya. Dia cenderung diam, menghabiskan waktu di ruang baca, lalu keluar rumah jika ada keperluan. Alila semula menganggap itu hal biasa sehingga dia merasa terbebas dari pantauan laki-laki itu di tengah kesibukannya, tetapi sekarang semakin ke sini semakin membuatnya merasa tidak nyaman didiamkan meninggalkan jejak kebingungan di benak Alila.

“Kalau ada masalah, bilang. Kalau ada yang ganjal di hati itu utarakan, biar bisa kita diskusikan bersama!”

Begitu penuturan Alila saat menyambut kepulangan Izzam beberapa waktu lalu sore itu, berusaha mendebat dengan maksud agar sang suami mau berbicara. Sungguh, sejak dua hari belakangan ini dia merasa benar-benar asing di rumah yang bahkan belum sempat dapat diakui kepunyaan sendiri. Terlebih ketika Izzam ketahuan mengacuhkan, jikalau ada tegur sapa itu pun sekadarnya saja. Bagaimana tidak muak.

Yang ditegur hanya merespons dengan alis terangkat, lalu kembali fokus pada layar laptop di hadapan. Jengkel lagi-lagi didiamkan, Alila pun menghampiri dengan tatapan awas kemudian menarik earphone  yang merekat di telinga kanan suaminya.

Izzam lantas menoleh dengan tatapan terkejut menanggapi perbuatan Alila. Dia hendak meraih earphone dari tangan istrinya, tetapi lekas Alila menghindar.

“Kamu nganggap aku ada nggak sih?”

“Alila kembalikan!” titah Izzam dengan suara lirih.

“Enggak, sebelum kamu jawab aku!” celetuk Alila.

Izzam menghela napas berat, dia meraih tangan Alila untuk merebut benda tersebut. Namun, karena gerakannya yang cekatan lagi spontan malah membuat Alila ambruk menimpanya tatkala gadis itu hilang keseimbangan.

“Ya ampun! Koas kita!”

Suara Hairil melengking kuat di telinga kiri Izzam yang masih menggunakan salah satu earphone, sontak membuatnya menoleh ke arah laptop lalu menutup layar secepat kilat.

Izzam seketika kalang kabut mendorong Alila dari atasnya, terburu-buru melepas benda merepotkan itu di telinganya. Kemudian berpindah menatap khawatir pada Alila yang berwajah masam.

“Kamu ngapain?” celetuk Izzam dengan suara memekik.

“Kok, aku? Kamu tuh! Ngapain segala tarik-tarik aku? Jatuh, kan, jadinya. Atau sengaja cari kesempatan?” pungkas Alila berbalik menuduhnya.

Izzam berdecak seraya memegang kepalanya, pusing. Dia sedang melakukan rapat persiapan praktikum bersama koas lainnya, dan pada saat bersamaan Izzam lupa akan situasi di mana dia masih on camera di room meeting sehingga keberadaan dirinya dan Alila tertangkap ketika rapat berlangsung. Izzam mengkhawatirkan sesuatu, dan itu terwujud begitu Izzam mendapati ponselnya berdering.

Ragu Izzam meraih benda pipih itu, dia pun tidak berniat untuk menerima panggilan seandainya kontak yang tertera tidak menghubunginya berulang kali.

“Kalau sudah nggak ada pertanyaan silakan pimpin dan akhiri rapatnya!” sembur Izzam pada inti saat via telepon tersambung.

Alila yang masih di tempatnya ikut terkejut mendengar seruan Izzam, tetapi memilih diam mendengarkan. 

“Waduh, santai dong. Nggak usah ngegas, kebetulan rapatnya baru saja ditutup, kok,” sahut lawan bicaranya yang tidak lain adalah Hairil.

Izzam menghela napas panjang berusaha tenang. “Ada apa lagi?”

“Nah, pertanyaan yang tepat. Sekarang jawab, tadi itu siapa tiba-tiba muncul nindih-nindih?” balas Hairil penasaran.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang