“Berapa banyak di antara kaum muslimin saat ini yang tahu syari'at? Banyak, tapi apakah sebanyak itu pula muslim yang paham dan istiqomah menjalankan syari'at? Maka realitanya bisa kita lihat pada saat-saat sekarang,”
Menggelegar suara ustadz Yahya di depan mimbar masjid menyampaikan tausiah setelah salat subuh dilaksanakan. Banyak santri berkumpul di sana, mendengar dengan saksama.
“Banyak orang tahu Islam, tapi nggak paham apa itu Islam. Banyak muslim salat, tapi umbar aurat dengan dalih berhijab adalah pilihan, padahal jelas-jelas sudah ditekankan dalam Kitabullah perintah wajibnya berkerudung dan berjilbab bagi wanita. Dan masih banyak lagi fakta kaum muslimin saat ini yang di KTP-nya Islam, tapi tidak mengambil Islam sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan,” ustadz Yahya melanjutkan.
“Yang lima dikerjakan, yang selainnya ditinggalkan. Itulah kondisi kaum muslimin sekarang, maka wajar saja umat ini terus-terusan berada di fase kemunduran. Apa yang jadi penyebabnya? Yaitu tadi, karena Islam dipisahkan dari kehidupan, dipisahkan dari aspek sosial, ekonomi, pendidikan, serta politik. Dan itu yang kemudian disebut sebagai sekularisasi agama dari kehidupan.”
Di pojok sana Zidan ikut tercenung mendengarkan, sesuatu terpikirkan olehnya hingga tak lama kemudian Zidan beranjak keluar dari masjid. Laki-laki itu terlihat buru-buru mengenakan sendal bersamaan dering ponsel terasa dari saku kokonya.
Zidan memandangi kontak baru tersebut sebelum akhirnya menggeser ikon dan menerima panggilan.
“Yakin mau lari terus? Kamu benar-benar ngajak aku main, Sayang?”
Baru beberapa saat merekatkan ponsel di telinga, sahutan langsung menyambut Zidan. Tahu siapa di balik kontak tak ternama itu membuat Zidan diam tanpa membalas.
“Kok, hening? Telingamu masih berfungsi, kan?”
“Aku lelah.” Zidan menjawab dengan suara rendah, matanya turut memerah.
“Ouh, kasihan banget. Aku bilang juga apa, kamu tuh nggak bakal bisa jauh dari aku. Kalau lelah begitu, kan, bisa aku temuin. Tapi, sayang lagi LDR ... kamu pasti kangen,” tutur perempuan itu dengan suara dibuat manja.
“Gila!” umpat Zidan sesekali mengepalkan tangan.
“Kamu baru nyadar? Aku gila karena kamu loh, Sayang,” balasnya.
“Ka, cukup! Mau sampai kapan kamu gangguin hidupku terus, hah?” seru Zidan tak tahan.
“Kalau boleh jujur, sampai kamu jadi milikku. Lagian kamu sudah dapat semuanya dari aku, termasuk keperawananku. So, aku nggak bakal lepasin kamu gitu saja!”
“Shit! Aku nggak pernah ngelakuin itu, ya! Jangan asal ngomong kamu!” pungkas Zidan sebelum panggilan secara sepihak dia putuskan.
Zidan melepas kopiah lalu mengacak rambutnya frustrasi, mengerang dalam senyap membuat napas terengah-engah. Matanya tak lama berair tak kuasa menahan amarah.
“Sialan, perempuan sialan!”
Zidan tak ada hentinya menggerutu, bahkan ketika dia berjalan kembali ke ndalem. Dia terus mengucapkan kalimat yang sama sampai bersamaan pintu ndalem terbuka menampilkan Raini di sana.
“Nggak guna!” umpat Zidan untuk kesekian kalinya, dia belum sadar Raini berdiri tepat di depannya.
Sepintas mendengar perkataan si gus, Raini mendadak tersinggung. Dia tidak mengerti sikap Zidan, pagi-pagi begini sudah mendumel.
“Gus?” Raini menegur.
Lantas Zidan angkat pandangan melirik ke depan, keningnya ikut mengerut mendapati perempuan itu tiba-tiba di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
SpiritualTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...