23. Cek-Kes

105 21 0
                                    

Helaan napas panjang lolos dari bibir Alila tatkala merasakan nikmat merebahkan badannya di kasur empuk dalam kamar setelah aktivitas panjang dan melelahkan selama di luar. Beruntung barang belanjaan tadi dibawa oleh Izzam, sehingga dia tidak perlu mengerahkan tenaga lebih untuk itu. Matanya terasa berat untuk terbuka, badannya pun sudah meminta beristirahat. Namun, Alila harus melakukan ritual mandi terlebih dahulu. Sangat tidak nyaman menurutnya jika tidur dengan kondisi badan yang lengket.

Sekitar 20 menit, Alila baru keluar dari kamar mandi dengan gamis dan khimar barunya. Izzam yang beberapa saat lalu tiba di kamar sontak menyerngit memperhatikan penampilan gadis itu, tidak ada yang berbeda dari sebelum-sebelumnya. Tetapi, hal itu justru membuat Izzam heran.

“Loh, sejak kapan kamu di sini?” Alila yang baru menyadari keberadaan Izzam hanya menyapa tanpa ekspresi.

Berbeda dari Izzam yang kini berjalan lurus ke arahnya tanpa mengatakan apapun, Alila sama sekali tidak bergeser dari posisinya saat sang suami berdiri di jarak sedekat ini. Entah, Alila merasa tidak ada lagi alasan yang membuatnya harus bersikap waspada pada laki-laki di hadapan. Namun, berdebar di dalam sini.

“Kamu butuh sesuatu?” tanya Alila mencoba menatap penuh mata suaminya.

Izzam membalas dengan menatapnya lama, beberapa saat baru membalas, “Tidur dengan gamis lagi? Maksudmu apa?”

Alila cengo. “Hah?”

“Kamu beli mihnah, kan, tadi? Kenapa nggak pakai itu?” celetuk Izzam.

“Emangnya kenapa? Aku nggak pa-pa kalau tidurnya pakai gamis, kenapa kamu risih?”

“Kamu yang risih.”

“Kok, aku?” pungkas Alila.

Izzam menghela napas singkat, wajahnya terkesan serius dan menuntut tatkala lirih bertanya, “Apa yang kamu pikirkan, Alila? Kita ini suami istri.”

Kening Alila berkerut. “Ya, terus?”

“Apakah yang kamu pahami tentang pergaulan antara suami istri adalah yang seperti ini, Alila?” tuntut Izzam.

Alila mengedikkan bahu. “Apanya yang salah?”

“Gamis dan kerudungmu, nggak bisakah kamu tanggalkan untuk sebentar?”

Sontak Alila memincingkan mata, menatap awas pada suaminya. “Nggak bisa. Lagian buat apaan? Jangan bilang kamu mau macam-macam!”

“Enggak.”

“Bohong. Penasaran pasti, ya!” tuding Alila menunjuk wajah Izzam.

“Nggak juga,” balas Izzam seraya menurunkan jari istrinya, jelas apa yang dia tuturkan berbanding terbalik dengan isi hati.

“Alasan, bilang saja penasaran. Emang benar, ya, otak laki-laki sama saja. Isinya perempuan semua,” sindir Alila.

Izzam tersenyum remeh. “Sok tahu.”

“Kenyataan kali! Kalau bukan karena penasaran, ngapain nyuruh buka kerudung?” celetuk Alila sebelum fokusnya teralih pada dering ponsel di nakas.

“Halo,” sapa Alila mengangkat panggilan dari kontak yang dinamainya ‘bundahara’.

“Habis dari mana kamu, Al? Bunda telepon dari tadi nggak diangkat-angkat!” tegur bunda dengan suara melengking di balik benda pintar itu.

“Keluar,” jawab Alila seraya berjalan menuju kasur dan duduk di tepian.

“Malam-malam begini ngapain? Kamu keluyuran?”

“Bunda apa-apaan sih? Siapa juga yang keluyuran?” celetuk Alila.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang