22. Perusak Akal

114 22 0
                                    

Hari berangsur malam, kini bulan pun berganti tugas menghiasi atap semesta yang membentang luas, mengukir indah terangnya langit bercorak gelap kala itu. Dari penghujung jalan hingga ke sudut kota, kelap-kelip lampu bangunan dan kendaraan di jalan ikut memercikan warna tersendiri, indah dan memanjakan mata jika diperhatikan dari atas bangunan tinggi.

Di sini Izzam berdiri, memandang lepas suasana di luar melalui kaca jendela. Ramainya pengunjung di tempat itu tak sedikit menarik fokusnya, tetapi begitu bayangan seseorang tampak dari pantulan kaca langsung mengalihkan sorot tajam itu. Menatap dari ujung matanya, memperhatikan dengan saksama gerak subjek yang lekat dipandang.

Alila, si gadis penuh ambisi itu terlihat manis dengan senyum tipis yang tersungging di ujung bibir, berhasil mengalihkan atensi Izzam bahkan tanpa berkedip. Ekspresinya yang kadang cemberut membuat Izzam gemas, entah bagi Izzam apapun ekspresi yang dia buat terkesan lucu. Terlebih dengan kedipan mata polosnya ketika menatap lamat patung monekin di sebuah mal yang mereka kunjungi setelah ibadah magrib.

Langkah Alila tertarik mengelilingi tempat tersebut, di mana tersedia banyak baju di sana dan dia tertarik untuk membeli salah satunya. Gamis berwarna hitam di sudut sana cukup bagus, tetapi sorotnya justru terhenti saat sepintas melihat beberapa baju di gantungan mengalihkan perhatian Alila dalam sekejap.

“Tunggu. Kok, ini mirip ya sama yang bunda hadiahkan di pernikahanku?” gumam Alila menelisik lama baju yang sempat dikatainya seperti kain pel tempo hari.

Alila meraih baju tersebut dan melihatnya sebentar. “Benar, astaga. Bunda order bajunya di sini, kah? Tapi, masa baju kayak ginian dijual? Emang laku? Mirip kain rombengan padahal.”

“Yakin mau beli itu?”

Suara Izzam terdengar dari arah berlawan membuyarkan lamunan Alila dalam sesaat. Dia mengerutkan kening ketika mendapati tatapan canggung dari sang suami.

“Kamu mau?” Alila justru berbalik tanya.

Izzam tak membalas apapun, kemudian menarik langkahnya menjauh dengan kepala menggeleng pelan.

“Baju apaan sih tadi?” Tak disangka Alila begitu cepat menyusul, menyamakan langkah di samping suaminya.

Hanya gelengan pelan yang Izzam berikan, bukan karena tidak tahu baju yang dimaksudkan istrinya itu adalah lingrie. Dia merasa aneh jika harus membahasnya, lagi pula sedikit rasa heran di benaknya ketika Alila mempertanyakan, padahal semua perempuan sudah pasti tidak asing dengan pakaian seperti itu, pikir Izzam.

“Aku nanya loh,” ujar Alila.

“Apa?” Izzam terus menapaki lantai, tak tahu hendak ke mana.

“Baju-baju kayak gitu emang banyak dijual di pasar-pasar gitu?” tanya Alila, penasaran.

“Di pasar ikan nggak ada,” jawab Izzam, ketus.

“Ya, kan, itu di pasar ikan. Baju kayak gitu paling laku buat jadi kain pel di pasar ikan, tapi maksudku kayak di pasar-pasar lain,” celetuk Alila.

Izzam diam tak menjawab, membuat Alila ikut tercenung.

“Kalau bukan di pasar, terus bunda dapat baju kayak gitu di mana? Nggak mungkin di mal-mal besar gini, harga yang tadi saja mehong, bisa menjerit dompet bunda. Apa dijahit sendiri?” batin Alila, “eh, tapi nggak mungkin kalau dijahit, orang bahannya saja kayak cuma benang di-lem.”

“Kenapa emangnya?” tanya Izzam dengan langkah mulai memelan, menegur istrinya yang tampak melamun.

Alila menimang sesaat, baru menjawab, “Enggak, aneh saja.”

Izzam melirik dengan senyum tipis tergambar. “Kirain mau kamu beli.”

“Dih, enggaklah. Buat apa coba? Mending beli gamis, tapi itu baju apaan sih? Kok, bisa ada yang sampai kepikiran buat beli?” tanya Alila, kemudian dalam hati melanjutkan, “bunda salah satunya.”

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang