09. SAH!

118 22 0
                                    

Derap langkah terdengar memburu di lorong rumah mengalihkan perhatian beberapa anggota keluarga dekat yang berlalu lalang di sana termasuk Alila yang masih berada di kamar rias. Gadis itu tampak kebingungan sejak tadi, memerhatikan kedua orang tuanya yang begitu sibuk. Junaid salah satunya, tiba-tiba beranjak pergi bersama Khadafi melaju dengan cepat menggunakan mobil mereka. Alila semakin heran melihatnya, padahal acara sebentar lagi dimulai tetapi ayah dan Khadafi justru pergi.

Tak lama bunda menyusul ke kamar rias, sontak Alila pun menghadang bunda dengan raut penuh tanya.

“Bun?”

“Alila yang tenang, ya,” ujar bunda.

Alila tidak mengerti. “Maksudnya apa, Bun? Ayah pergi ke mana?”

“Ayah bakal pulang sebentar lagi, kamu nggak usah mikirin itu. Sekarang nurut sama MUA buat make-up, kamu keringatan itu,” kata bunda mengalihkan topik.

Alila tak dapat mengelak hingga dia menuruti bundanya kembali menempati tempat duduk.

“Silakan dilanjutkan,” titah bunda.

“Aku udah selesai, Bunda,” ucap Alila.

“Mahkotanya belum dipasang, biar kami rekatkan sebentar, ya,” sahut salah satu MUA.

“Nah, sekalian sama lipstiknya,” timpal bunda.

“Enggak, jangan yang menor-menor. Aku nggak mau kelihatan tua dengan pakai lipstik yang warnanya merah,” sanggah Alila.

Kedua petugas MUA itu mengangguk patuh sebagaimana maunya Alila hingga gadis itu kembali dirias, sementara bunda masih belum bisa bernapas lega setelah mengetahui sebuah informasi dari suaminya.

2 jam berlalu.

Tamu-tamu mulai berkumpul di samping rumah tempat digelarnya acara walimahan, sengaja tidak menyewa tempat sebagaimana permintaan Alila yang ingin acara diselenggarakan di rumah dan dihadiri oleh keluarga dekat saja. Entah bagaimana Alila dapat berpikir demikian, dia mengajukan syarat tersebut untuk sekadar cari aman. Dia benar-benar merasa belum siap jika pernikahannya diketahui khalayak ramai di luar sana termasuk teman-temannya.

Matahari mulai terik, seharusnya akad dimulai pukul 9 pagi. Sudah lebih 1 jam hingga beberapa tamu mulai penasaran akan berlangsungnya acara.

Alila merasakan ada sesuatu yang salah, ya, sejak tadi calon suami dan rombongannya belum datang juga begitu pula ayah dan Khadafi, mereka telah pergi sekitar 2 jam lalu dan tak kunjung terlihat sampai sekarang. Melirik ke arah bunda, benar dugaan Alila tatkala mendapati kegelisahan yang tersirat di wajah wanita berkebaya merah muda tersebut semakin membuatnya menanam kecurigaan.

“Belum dimulai juga, Bun?” tanya Alila.

Bunda terhenyak, mendekat dengan senyum tipis terukir. “Sabar.”

“Pengantin laki-lakinya juga nggak datang-datang, apa nikahannya nggak jadi?” tukas Alila.

“Heh! Jangan sembarangan, kamu bakal menikah, kok, sabar sedikit,” pungkas bunda.

Alila mengerucutkan bibirnya cemberut, entah mengapa dibalas demikian oleh bunda justru membuatnya merasa seolah mengharapkan pernikahan itu terjadi dan dia yang tidak sabar untuk segera disahkan dalam ikatan tersebut.

Kalkson mobil berbunyi tak hanya sekali mampu menarik perhatian banyak tamu undangan tak terkecuali bunda, buru-buru bunda beranjak dari kamar meninggalkan Alila sendiri di sana.

Alila masih sibuk mengintip dari jendela kamar, sorotnya tertuju pada kemunculan ayah dan Khadafi bersama dua orang petugas KUA dari sebuah mobil, kemudian disusul kedatangan dua mobil yang membawa rombongan pengantin. Diawali oleh ummi Nisa dan kiai Ahmad turun dari mobil diikuti oleh Izzam yang membuat Alila berkerut kening ketika mendapati tampilannya yang terlihat lebih menonjol dengan setelan jas putih dan jubah berwarna senada juga kopiah yang bertengger di kepalanya, berbeda dari dress code yang dipakai oleh kedua orang tuanya.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang