31. Sikap Izzam

83 8 3
                                    

Terik matahari menyapa hingga ke pelosok desa, menyapa hijaunya pepohonan menambah asri suasana menjelang siang ini, kicau burung-burung terdengar indah di angkasa disahuti bunyi suling alam di penghujung sana semakin menghidupi suasana pedesaan dengan alunan irama yang indah.

Di depan bangunan bernamakan pesantren al-Ikhlas terhampar persawahan yang tumbuhi hijaunya padi dan jagung kepunyaan masyarakat sekitar, pemandangan yang cukup memanjakan mata. Siapa sangka, bagi seorang laki-laki yang sejak dua tahun tidak berpulang mendapati perubahan yang begitu pesat di tanah kelahiran.

Kagum, kata yang terpancar dari mata Zidan. Namun, beribu sesal dalam sekejap merenggut tempat hati dan akalnya tatkala teringat masa kecil selama di sana. Wajah abah dan senyuman ummi teringat jelas dalam ingatan sebelum akhirnya wajah itu menampilkan kemarahan dan senyuman ummi menggurat pahitnya kekecewaan.

“Argh!” erang Zidan memukul kepalanya frustrasi.

Sesak di dalam sini terlampau banyak menempati ruang mengingat keteledoran yang diperbuat serta tak henti membuatnya terus menyesal.

Tanpa diketahui dari bawah sini Zidan tak sengaja terawasi, kedua santri yang tidak lain Raini dan Jamilah teralih perhatiannya ke arah Zidan di balkon kamar di ndalem begitu mendengar putra kiai satu itu menyeru kesal.

“Gus Zidan kenapa tuh, Ni?” tanya Jamilah menyenggol lengan sang teman.

“Mana aku tahu, Milah?”

“Apa mungkin dia frustrasi gara-gara nggak jadi nikah sama perempuan kemarin?” timpal Jamilah.

“Ya, nggak tahu. Lagian buat apa kita ikut campur?” balas Raini.

“Iya sih, pun perempuan itu juga apa menariknya sampai diperebutkan dua putra kiai sekaligus?” celetuk Jamilah.

Raini ikut terpikirkan. “Sudah, ini jatuhnya ke ghibah! Ayo, buruan ke masjid.”

***

“Jadi ini istrinya Izzam?”

Pertanyaan Hairil diserbu geplakan oleh Izzam, cukup keras hingga terdengar oleh beberapa pengunjung cafe menjelang sore itu.

“Ck, sakit!” seru Hairil pada Izzam. Pukulan sang teman cukup kuat juga menimbulkan rasa nyeri di lengan.

Izzam hanya menghela napas berat. Pada akhirnya dia terpaksa membawa Hairil kemari membahas terkait hubungan dia dan Alila setelah didesak sedemikian rupa oleh Hairil di kampus tadi. Kali ini Alila ikut serta berkumpul dengan kedua kakak tingkat yang salah satu dari mereka merupakan suaminya.

“Ril, bisa nggak, nggak usah terlalu blak-blakkan nanya kayak gitu di tempat umum?” sahut Izzam memulai pembicaraan, tampak serius.

“Bisa, tapi yang namanya lagi happy eroik gini, ya mohon dimaklumi,” balas Hairil.

“Jangan terlalu berlebihan,” sahut Izzam.

“Yaelah, tapi ngomong-ngomong nih, kalian kapan nikahnya?” tanya Hairil mendekatkan badan condong kepada Alila.

Tangan Izzam terulur mendorong Hairil agar berjarak dari istrinya. “Nggak usah dekat-dekat.”

“Gila, posesif banget, Bro!” celetuk Hairil terkikik.

Izzam mengembus napas gusar tak menyahut.

By the way, aku Hairil. Namamu?” tanya Hairil mengulurkan tangan di hadapan Alila.

Alila menatap tangan Hairil lalu berpindah melirik Izzam yang sudah pasang muka judes sejak tadi, mata itu tersorot awas kepadanya.

“Alila, Kak,” balas Alila tanpa menyambut uluran tangan Hairil.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang