13. Membimbing Istri

112 24 3
                                    

Di sini Izzam berada, menyandarkan punggungnya di pintu kamar setelah beberapa saat terdiam dan didiamkan. Sejak tadi dia hanya menunggu Alila berbalik menghadapnya tanpa harus mengusik suasana hati gadis itu lebih dulu. Namun, setengah jam berlalu Alila tampak tidak berminat untuk berbicara dengannya walau sepatah kata apapun. Kukuh bergeming dingin membelakangi Izzam di tepi kasur.

“Kamu sering debat sama orang tuamu, ya?” ujar Izzam akhirnya berbicara juga.

Tak ada respons untuk sesaat sampai Alila menoleh 45° derajat ke arahnya. “Kenapa? Kamu nggak suka?”

Izzam menarik kedua sudut bibirnya tersenyum kecut dan membalas, “Allah benci sikap yang demikian, dan apa-apa yang Allah benci juga harus dibenci.”

Alila tercenung. Kesempatan bagi Izzam untuk mendekatinya, menarik kursi belajar dan mengambil sikap duduk di hadapan Alila.

“Menurutmu lebih baik dibenci Allah atau dibenci manusia?” lanjut Izzam seraya menatap lekat mata Alila.

Alila memalingkan wajah seraya berkata, “Bukan aku sengaja untuk mendebat. Mudah memang bagimu jika sebatas bicara dan mengolah bahasa, tapi kamu nggak bakal paham kalau nggak merasakannya sendiri. Hidup di bawah tekanan dan mengikuti seluruh kemauan orang tua kadang nggak enak apa lagi bertentangan dengan apa yang diingini.”

“Setiap orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya, Alila,” sela Izzam dengan suara rendah, mulai mengulik masalah.

“Baik enggaknya itu dirasakan oleh anak itu sendiri. Bagi orang tuaku mungkin itu baik, tapi enggak buat aku. Atau sekarang aku tanya deh, kamu senang sama pernikahan yang kayak gini? Kamu pasti punya impian, kan? Punya cita-cita yang mau kamu kejar? Lalu dengan pernikahan mendadak ini bisa bikin kamu bahagia?”

“Bahagia ... tergantung bagaimana perspektif kita mendefinisikan bahagia itu apa, sayangnya konteks bahagia itu nggak bakal bisa didapatkan di dunia. Bicara tentang pernikahan kita, dunia adalah tempat manusia diuji, semua hamba nggak bisa lolos dari ujian itu sampai dia masuk ke liang lahad. Allah akan menguji setiap hamba yang dicintainya, maka berprasangka baik saja bahwa aku atau kamu sedang dicintai Allah dengan ujian pernikahan yang seperti ini,” perjelas Izzam dengan santainya.

Berbeda dengan Alila yang menatapnya tak percaya, dia tak habis pikir dengan Izzam yang begitu enteng berbicara demikian dengan wajah santai. Alila sampai kehabisan kata-kata, tetapi dalam hati tetap menyangkal pernyataan Izzam.

Izzam menghela napas singkat mencoba memposisikan dirinya ketika bersama Alila, Izzam berubah haluan ingin mengenali gadis itu lebih jauh setelah mendengar pengakuannya tadi. Meski Izzam tahu bukan menjadi sesuatu yang mudah mengubah karakter seseorang jika bukan orang itu yang bertekad untuk mengubah dirinya sendiri. Belum lagi Izzam harus menurunkan egonya sendiri, mengedepankan tugas dan kewajiban sebagai seorang suami yang harus membimbing istri.

“Sudah, nggak usah dibahas lagi. Yang ada kamu pusing sendiri mikirnya, aku juga nggak mau tanggung risiko kalau kamu sampai depresi dan berujung gantung diri cuma karena kebanyakan mikir,” ujar Izzam memecah keheningan yang sempat tercipta.

Mendongakkan wajah, Alila meliriknya malas. “Orang bodoh mana yang bakal ngelakuin hal itu?”

“Bagus, seenggaknya kamu sadar bahwa kamu nggak bodoh, ya,” kata Izzam sedikit mengatainya.

Alila kembali diam, enggan membalas mengingat suasana hatinya yang masih tidak baik.

“Emh, kamu nggak lapar?” Pertanyaan selanjutnya terlontar dari mulut Izzam, mengalihkan topik pembahasan.

“Nggak,” jawabnya, ketus.

“Yakin?”

“Peduli apa kamu sama aku?” celetuk Alila.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang