19. Canggung

126 26 0
                                    

Laju kendaraan semakin cepat, malam pun semakin larut tetapi sepasang insan itu masih terjaga ketika orang lainnya telah pulas tertidur. Mereka berada di fase membingungkan saat ini, bukan menjadi sesuatu yang mudah ketika Alila membujuk Izzam untuk membantunya sampai gadis itu dilema sendiri setelah sang suami mengiakan.

Badan Alila menegang ketika merasakan sentuhan di punggung atasnya, tak berani bersuara dengan kondisi hati yang bertalun-talun dibuatnya.

Meski punggungnya masih dalam keadaan tertutupi gamis dan kerudung, Izzam dapat merasakan ketegangan yang tak hanya dialami Alila, tetapi juga dirinya sendiri, sehingga sesuatu yang mungkin mudah dilakukan terasa berat baginya sekarang.

“Su-sudah?” lirih Alila bertanya ketika beberapa saat tidak merasakan pergerakan di belakangnnya.

“Belum. Aku sedikit kesulitan,” bisik Izzam sesekali mengembus napas berat. Ini gila, pikirnya.

“Apanya yang bikin sulit? Pengaitnya di belakang, bukan di depan,” celetuk Alila dengan suara pelan.

“Alila, diam!” tegur Izzam. Menelusupkan tangannya lagi untuk memperbaiki kaitan sang istri.

Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya Izzam bisa mengembus napas lega, kemudian menaikkan resleting gamis istrinya itu.

“Sudah,” ucap Izzam.

Alila kembali memperbaiki posisi duduknya, menghadap ke depan sesekali melirik Izzam dengan canggung. Terlihat Izzam meneguk air dalam botolnya, kemudian bersandar dengan mata terpejam.

“Kamu marah?” Alila bertanya.

Izzam menggeleng, dan berkata, “Minum pilnya, lalu tidur.”

Alila baru teringat akan pil penahan mabuk pemberian ummi Nisa, lalu menurut mengonsumsinya tanpa basa-basi. Sedangkan Izzam bertahan memperhatikannya di tempat.

“Kamu sudah mau tidur?” Alila bertanya lagi.

“Kenapa?”

“Aku mau ke toilet,” ucap Alila.

“Ya sudah, sana.”

“Temanin!”

Izzam lagi-lagi menghela napas berat, lirih menyebut, “Astagfirullah.”

Beberapa jam berlalu. Tak terasa mereka telah menempuh 6 jam di perjalanan, kerena lelap tertidur tiba-tiba diumumkan mereka telah tiba di terminal dan akan singgah di sana sebentar. Para penumpang yang tidak hanya dari satu bis itu berkumpul di sana, melakukan aktivitas mereka sebelum melanjutkan perjalanan panjang.

“Alila, bangun,” titah Izzam membangunkan istrinya.

Gadis itu mengerjap pelan, baru kemudian menetralkan penglihatan.

“Sudah sampai?” tanya Alila.

“Belum. Sekarang ayo turun,” ajak Izzam.

“Ke mana?” Alila bertanya lagi.

“Ikut dulu!”

Alila menuruti Izzam, mengekori suaminya turun dari bis dan disambut oleh ramainya para penumpang yang sedang sibuk dengan urusan mereka masing-masing. Sebagian besar ada yang sedang memasuki rumah makan, juga beranjak ke toilet umum. Itu yang Alila cari.

“Temani aku ke toilet!” pinta Alila menarik lengan Izzam seraya menunjuk ke toilet umum.

“Ayo!”

Alila mengangguk, kemudian mengantre dengan beberapa penumpang lainnya. Alila baru memasuki toilet ketika tiba gilirannya, dan meninggalkan Izzam di sana.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang