17. Pernah Dekat

119 25 0
                                    

Alila tidak punya pilihan selain mengikuti Izzam yang mengajaknya salat subuh berjemaah di masjid pesantren, padahal hari masih terlalu dini untuk keluar dan berkeliling dengan suasana yang terasa dingin mencengkam. Beruntung tidak begitu banyak orang berlalu lalang di sana sehingga Alila leluasa merutuki suaminya ini.

“Kamu tuh, ya, nggak berperasaan banget bawa aku keluar pagi-pagi buta gini. Nanti kalau aku kenapa-kenapa gimana?”  Alila menggerutu kesal dengan langkah terseok-seok, kondisi jalanan penuh kerikil itu membuatnya kesulitan bergerak ditambah dia menggunakan sepatu pantofel yang memberi efek keram pada otot kaki. Alila tidak terpikirkan untuk menggunakan sendal tadi.

“Ih!” keluh Alila menghentakkan kakinya dan berhenti sembari menatap lurus punggung suaminya di depan sana.

“Mas!” panggil Alila dengan perasaan dongkol.

Izzam berbalik dengan satu alis terangkat sementara keningnya berkerut menampakkan raut heran.

“Kamu yang manggil?” Bukan murni tidak mendengar, Izzam ingin memastikan bahwa Alila memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’.

Alila tidak menjawab, kukuh bergeming dingin dengan wajah berpaling masam.

“Ada apa?” tanya Izzam akhirnya mendekat.

“Nggak peka,” gumam Alila masih enggan menoleh pada suaminya.

“Sebentar lagi azan loh, kamu nggak mungkin berdiri di sini terus,” ujar Izzam.

“Aku capek jalan, dari tadi kaki aku sakit-sakitan. Kamu juga dipanggil nggak dengar-dengar!” cerocos Alila.

“Iya, kenapa memangnya?”

“Masih kamu nanya-nanya? Aku capek jalan terus,” celetuk Alila, jengkel.

“Terus, kamu mau aku gendong?”

“Dih, ogah! Nggak usah cari kesempatan dalam kesusahan deh,” kilah Alila.

“Ya sudah, kalau gitu ngesot saja kamu sampai masjid. Lagian tinggal beberapa meter lagi,” balas Izzam.

Alila mendengus kesal mendapati respons Izzam hingga dia memilih melepas sepatunya, berbalik arah akan pulang ke ndalem.

“Loh, mau ngapain?” tanya Izzam menarik pergelangan Alila.

“Nggak usah pegang-pegang, aku mau pulang!” berontak Alila.

“Pulang ke mana? Bentar lagi mau azan, ayo lanjutkan perjalanannya!” tutur Izzam.

“Nggak mau, aku salat di rumah saja!”

“Nurut atau aku paksa?” ancam Izzam membuat Alila memanyunkan bibirnya cemberut.

Bukan sengaja tidak membiarkan istrinya itu salat di rumah. Namun, ada sesuatu yang harus dia selesaikan dan Alila setelah subuh nanti.

“Sini, pakai,” kata Izzam mentitah Alila mengenakan sendal miliknya. Dia pikir kaki istrinya kesakitan karena sepatu tersebut.

Alila menatap Izzam dan sendalnya bersamaan, kemudian lekas menghindar begitu Izzam berjongkok dan meraih kakinya.

“Kamu apa-apaan sih?” celetuk Alila.

Izzam mendongak dan menjawab, “Mau pakai sendiri atau aku pakaikan?”

“Sendiri!” balas Alila sedikit ketus ikut berjongkok mengenakan sendal eiger punya suaminya itu.

Izzam menyunggingkan seulas senyum lucu melihat kaki Alila menempa sendal kebesaran miliknya, berbeda dengan Alila yang selalu melempar tatapan awas kepadanya.

“Bisa nggak kalau natapnya biasa-biasa saja? Aku tahu kamu cinta sama suamimu ini,” sahut Izzam.

“Dih. Apaan sih, PD banget jadi orang?” tukas Alila menarik langkah lebih dulu.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang