34. Tidak Tenang

120 14 0
                                    

“Bunda, sakit!!”

Pekikan Alila terdengar kencang dari dalam kamar lagi-lagi membuat Izzam mengembus napas berat ketika dia berada di ruang tengah. Tak dia hiraukan, karena fokusnya masih tertuju pada pohon mangga di seberang yang menjadi perantara musibah kemarin terjadi.

Berulang kali Izzam menggelengkan kepala serta berdecak miris, tak habis pikir dengan perbuatan sang istri yang lebih memilih loncat dari dahan pohon dari pada menunggunya mengambilkan tangga dan kecelakaan pun tak dapat terelakkan lagi.

Izzam sampai bingung harus berkata apa, eskpresinya tak tertebak ketika menatap Alila setelah mengantar kepulangan tukang urut wanita tadi dan kembali ke kamar menengok keadaan sang istri.

Berbeda dari Alila yang dengan wajah tengil menyengir seolah tidak terjadi apa-apa, padahal semalam dia terus mengadu kesakitan dan Izzam terkena dampaknya juga.

“Nggak tahu lagi aku mau ngomong apa kalau ayah dan bundamu tahu ini,” gumam Izzam dengan wajah pasrah mengamati kaki Alila.

Beruntung Alila mengalami cedera ringan, beberapa goresan luka di kedua tangan, memar di siku dan lutut, serta kaki kirinya keseleo.

“Aku nggak pa-pa, kok, baru saja selesai diurut ibu itu, insyaa Allah manjur!” ujar Alila berusaha menenangkan Izzam. Tepatnya, agar laki-laki itu tidak khawatir berlebih apa lagi sampai melapor kepada bunda.

Izzam mengembus napas gusar sembari mendekat kepada Alila, lekat menatapnya lama.

“Kamu mikir nggak sih kalau kamu sudah bikin orang khawatir?” tanya Izzam dengan suara berat terdengar.

Alila menyengir lebar menanggapi, “Ciee, khawatir.”

“Aku serius!” celetuk Izzam, “kelakuan kamu tuh aneh-aneh.”

Raut Alila berubah tegang mendapati keseriusan suaminya.

“Sekarang lihat, masih untung cuma keseleo, kalau patah gimana? Mau kamu diamputasi?!”

“Ih, mulutnya!” tegur Alila menggeplak tangan Izzam.

“Ya, makanya mikir dulu sebelum bertindak,” omel Izzam menjepit hidung Alila dengan kedua jarinya, dia gemas sendiri.

“Sakit!” keluh Alila.

“Nakal banget, kena omel bunda tahu rasa kamu!” gerutu Izzam.

“Nggak usah ngancam kali, lagian aku mana tahu Mas pergi ambil tangga,” seloroh Alila.

“Sudah!” tegur Izzam beranjak dari tempatnya.

“Mau ke mana lagi?” tanya Alila.

“Ambilkan kamu makanan,” jawab Izzam.

“Nggak, aku bisa ambil sendiri,” balas Alila.

“Kamu lupa kaki kamu masih sakit-sakitan gitu?”

“Yang bilang aku jalan sendiri siapa? Pakai kaki kamulah, Mas,” tukas Alila.

Alis Izzam bertaut heran. “Maksudmu?”

“Gendong!” pinta Alila seraya mengulurkan kedua tangan meminta digendong, tak lupa senyum tengil terukir di bibirnya.

“Ya sudah, ayo!” ajak Izzam kembali mendekat.

Berdetak di dalam sini begitu Izzam merespons dengan keseriusan, Alila mendadak kaku begitu sang suami mengikis jarak mengambil ancang-ancang membopong, sampai Alila merasakan badannya terangkat dalam gendongan. Alila terhenyak, tidak menyangka Izzam benar-benar akan menurutinya, padahal dia hanya iseng tadi.

“Pegangan,” kata Izzam.

Alila berdeham singkat saat lamunannya buyar, ragu menautkan tangan di leher dan bahu Izzam. Entah situasi macam apa ini, Alila tiba-tiba menyesal meminta diperlakukan demikian, persoalannya dia mendadak malu berat.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang