Di sini Alila berada, mengikat tali sepatu setelah melaksanakan ibadah salat dzuhur di musala yang tidak jauh dari tempat berkumpulnya mahasiswa baru tadi. Tak langsung kembali, Alila lebih memilih memotret tempat di sekitar dengan ponsel. Beberapa jenis bunga di pinggir kolam samping musala itu cukup menarik diabadikan dalam sebuah file bergambar membuatnya tersenyum.
Dia tampak senang sebelum kesenangan itu berakhir dan senyumannya pudar tatkala sadar akan keberadaan Izzam di sisi kolam. Persis bagaimana Izzam menatap dari sana membuat Alila cepat-cepat memalingkan wajah, lalu beranjak meninggalkan suaminya.
Izzam mengerutkan kening, bertanya, “Dia kenapa?”
Sekitar pukul 2 siang kegiatan baru kemudian dibubarkan memperlihatkan ramainya para mahasiswa berjalan meninggalkan gedung dan berangsur ke parkiran.
Alila dan Faizah berpisah di depan gerbang keluar. Faizah pergi dengan motornya, sementara Alila masih harus menunggu Izzam di jarak yang cukup jauh dari gerbang sepergi yang dipesankan suaminya di awal datang tadi.
“Aku di tempat tadi,” eja Alila seraya mengetik kalimat serupa di papan pesan dan mengirimnya pada kontak suami.
Tak ada balasan, Alila memutuskan menunggu beberapa saat sampai yang ditunggu-tunggu pun datang. Gegas Alila memasuki mobil dan menempatkan ransel di samping. Perjalanan dimulai, baru beberapa menit suasana langsung diselimuti sunyi. Tidak ada yang membuka percakapan bahkan tanpa tegur sapa. Alila bertahan dengan diamnya dan Izzam tak henti melirik heran.
“Gimana hari pertama ospek? Seru?” Izzam akhirnya bersuara juga, sejujurnya tidak paham dengan sikap Alila yang gampang berubah.
“Biasa saja,”
Alis Izzam menukik bingung dengan respons Alila seolah ada sesuatu yang salah. Namun, Izzam terus berpikir positif mengingat kegiatan hari ini mungkin cukup melelahkan bagi Alila.
Alila melirik dengan tatapan selidik baru kemudian melempar pertanyaan, “Siapa perempuan tadi?”
Menoleh, Izzam bertanya, “Perempuan? Yang mana?”
“Ooh gitu, saking banyaknya perempuan yang kamu temui sampai kamu nggak bisa sebutkan satu-satu? Jawab, berapa banyak perempuan yang kamu temui hari ini?” tuntut Alila.
Izzam semakin tidak mengerti. “Maksud kamu apa sih?”
“Nggak usah pura-pura deh!”
“Aku benaran nggak tahu, Alila. Lagian kalau kamu nanyain berapa banyak perempuan yang aku lihat hari ini, ya paling setengah dari penduduk kota!” celetuk Izzam.
“Di kampus!”
“Ya, tinggal hitung berapa ribu jumlah mahasiswa tadi? Habis itu kamu kalkulasikan berapa jumlah mahasiswinya,” pungkas Izzam, heran.
“Kok, kamu nyuruh-nyuruh aku? Di SMA dulu aku nggak pernah tuh ya disuruh mendata jumlah penduduk perempuan di kota,” balas Alila tak kalah memungkas.
“Ya, terus maumu gimana?” tanya Izzam dengan senyum tipis.
“Kamu jawab pertanyaan aku, siapa perempuan tadi?”
“Yang mana?”
“Yang kasih kamu minuman, itu siapa?” perjelas Alila mempertanyakan.
Izzam justru diam tak menjawab, berhenti di lampu merah kemudian beralih melirik Alila. Sesuatu terbaca olehnya ketika menatap lekat manik Alila membuat Izzam berpaling dengan senyuman yang melengkung di bibir tanpa menjelaskan apapun lagi.
“Serius dia nggak mau klarifikasi?” monolog Alila membatin.
Beberapa menit kemudian mereka akhirnya tiba di rumah, gegas Alila beranjak turun disusul Izzam yang mencegahnya begitu dia hendak ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
SpiritualTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...