Selawat terdengar dari ma'had di seberang menampilkan para santri pesantren al-Ikhlas sedang melakukan rutinitas mereka siang ini. Beberapa santri putra juga terlihat di sekitar lapangan di ujung selatan pondok, biasanya mereka berkumpul di sana untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler sebelum waktu kajian kitab terjadwal tiba.
“Raini!”
Seorang gadis berkerudung cokelat memanggil dari ujung lapangan, melambai ke arah temannya yang baru saja akan mengangkat busur dan memanah, sontak perhatian gadis yang dipanggil namanya tersebut menoleh.
“Iya?” Raini menyerahkan busur panah kepada santri lain, berlari menghampiri temannya.
“Sini!”
“Kenapa?” tanya Raini lagi.
“Ada kabar bagus!”
“Kabar apa?”
“Gus Izzam, dia balik pondok siang ini,” jawab gadis itu antusias.
Alis Raini menukik satu. “Yang benar?”
“Iya. Kebetulan sekarang kamu dipanggil sama bu nyai ke ndalem, katanya butuh bantuan santri putri buat masak-masak,” katanya.
“Serius aku dipanggil ke ndalem?” Raini masih tidak percaya.
“Iya. Ayo, makanya. Hitung-hitung bisa ketemu gus Izzam,” balas teman Raini.
Raini tersenyum senang dan mengangguk setuju.
Beberapa santri berkumpul di depan gerbang utama pesantren mengalihkan fokus Alila begitu perhatian banyak orang terpusat ke arah mobil taxi yang mereka tumpangi mulai memasuki wilayah ndalem.
“Sampai sini, Pak?” tanya sang sopir memarkirkan mobil setelah melewati gerbang.
“Iya, Pak. Terima kasih,” kata Izzam memposisikan diri untuk turun. Tetapi, geraknya terhenti tatkala melirik Alila yang menatap cengo ke luar kaca mobil.
“Kita di mana?” tanya Alila.
“Ndalem, ayo!” ajak Izzam mengulurkan tangannya setelah turun dan membukakan pintu mobil untuk istrinya.
Alila mengerutkan kening menatap uluran tangan Izzam, tak berniat menanggapi begitu perhatiannya teralih pada dua orang santri yang mengeluarkan koper dan bawaan mereka dari bagasi mobil.
“Itu barang-barangku mau dibawa ke mana? Kok, diambil?” ujar Alila menatap Izzam.
“Nggak diambil, mereka cuma bantu bawain. Ayo!” Izzam setia mengulurkan tangan di hadapan Alila sampai gadis itu meraih tangannya.
Berjalan dengan pelan mengekori Izzam, mendadak Alila mati kutu tatkala berada di tengah keramaian para santri menyambut kedatangannya dan Izzam.
“Kenapa harus banyak orang di sini?” Alila bertanya lirih, canggung menatap ke sekeliling.
Izzam tak menjawab, tetapi Alila sontak mendongakkan wajah merasakan erat tangannya dalam genggaman sang suami.
“MasyaaAllah, akhirnya sampai juga,” ujar ummi Nisa menyambut Izzam dan Alila.
“Assalamualaikum, Ummi.” Izzam menyapa lembut menyalami tangan ummi Nisa, disusul Alila melakukan hal serupa.
Gadis itu tersenyum disambut baik oleh ummi Nisa, termasuk kiai Ahmad yang sudah sejak tadi memperhatikan mereka dari teras depan ndalem.
Kedatangan Izzam memang menjadi sesuatu yang ditunggu-tunggu oleh warga pondok. Namun, tak sedikit dari mereka dibuat bingung dengan keberadaan gadis berkerudung biru itu─Alila.
“Siapa dia sebenarnya, Ni? Kok, bisa dia datang terus digandeng sama gus Izzam?”
Jamilah一 teman Raini mengeluhkan kesaksiannya setelah berpulang dari ndalem. Dia dan Raini sekarang berada di belakang bangunan asrama santri putri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
SpiritualTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...