08. Menghadiri Pernikahan

89 20 0
                                    

“Baik, Izzam. Besar harapan saya jika kalian bisa menjalankan amanah ini dengan baik, kalaupun ada kendala lainnya jangan sungkan untuk menghubungi saya.” Begitu yang dituturkan pak Syam, dosen pengampu mata kuliah fisika di FMIPA. Beliau berbicara lantang di hadapan Izzam dan 5 kawanan mahasiswa lainnya yang ditugaskan menjadi koas praktikum mata kuliah fisika dasar.

“Terima kasih atas kepercayaannya, Pak. Akan kami usahakan semaksimal mungkin mengemban amanah ini, mau bagaimana pun ke depannya kami tetap butuh bimbingan Bapak,” balas Izzam seraya menjabat tangan pak Syam.

“Sukses terus untuk tim kalian!” kata pak Syam menyemangati.

Izzam dan rekan-rekannya membalas dengan senyuman dan pembicaraan menjelang sore itu mengakhiri pertemuan yang telah mereka tunaikan bersama.

Keluar dari ruang dosen Izzam berjalan menuju parkiran kampus disusul kedatangan Hairil yang membahunya penuh semangat.

“Cie, yang baru ditunjuk jadi PJ Koas,” goda Hairil.

“Pak Syam mempercayakan kita semua mengemban amanah itu, urusan siapa-siapa yang jadi penanggung jawabnya nggak bakal menggeser posisi kita sebagai tim yang harus mengedepankan komunikasi efektif dan kerja sama selektif,” balas Izzam.

“Benar sih, kita adalah satu tim!” kata Hairil.

Izzam menganggukkan kepala membenarkan sebelum perhatian mereka teralihkan dengan kedatangan seorang gadis berkerudung putih yang kini berjalan ke arah mereka.

Hairil menyenggol lengan Izzam, dengan senyum nakal berkata, “Tuh, dia nyamperin.”

Tak ada balasan dari Izzam, hanya mempertahankan raut wajah datarnya begitu gadis itu tiba di hadapan.

“Assalamu'alaikum, Kak.” Maya─mahasiswi semester 4 itu tersemyum manis menyapa Izzam.

“Wa'alaikumussalam,” balas Izzam tak sedikit pun meliriknya.

“Eh, Maya. Tadi kita ketemu di ruang dosen, kan?” sahut Hairil.

Maya mengangguk. “Iya, Kak. Saya ke sini cuma mau bilang selamat saja buat Kak Izzam dengan ditunjuknya sebagai PJ Koas.”

Hairil ber'oh ria.“Buat Izzam doang nih? Meskipun aku bukan PJ tetap saja kita lolos berada di tim yang sama.”

“Ah, iya, Kak. Selamat juga buat Kak Hairil, saya harap ke depannya bisa belajar lebih banyak dari Kak Izzam dan Kak Hairil sebagai koas praktikum, saya akan memberikan yang terbaik, Kak,” ucap Maya menatap binar ke arah Izzam.

“Ya, silakan lakukan apapun itu. Hanya saja kita di sini bekerja sebagai tim, dan tim terbaik adalah tim yang mengupayakan sesuatu yang terbaik berdasarkan kerja sama terbaik pula. Nggak ada istilah salah satunya saja yang terlihat unggul,” tukas Izzam seraya meraih helm.

“Nah, tepat!” timpal Hairil.

Maya hanya mengangguk sekali, terlihat canggung setelah dibalas perkataannya oleh Izzam. Meski demikian ambisi di matanya tak pernah padam, bagi Hairil gadis itu amat mendambakan Izzam melirik ke arahnya.

“Sudah, nyerah saja. Ngapain sih kayak gini?” tanya Hairil setengah berbisik di samping Maya.

Maya terlihat terkejut, menatap Hairil seraya bertanya, “Maksudnya apa, ya, Kak?”

Hairil tak menjawab, sorotnya berpindah melirik ke seberang.

“Mau ke mana, Zam?” tanya Hairil kemudian.

“Pulang.” Izzam menjawab sembari mengeluarkan motor dari parkiran. “Assalamu'alaikum.”

“Wa'alaikumussalam,” balas Hairil dan Maya secara bersamaan.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang