06. Didikan Orang Tua

159 22 3
                                    

Alila berjalan ke sana kemari, menanti dengan kerisauan yang bersarang dalam dada. Sama sekali tidak bisa tenang barang sesaat, terperangkap dalam pemikiran sendiri. Berulang kali gadis berkhimar hitam itu mengintip melalui jendela kamar hingga akhirnya tampaklah orang-orang yang sejak tadi dinantikannya pulang.

Menatap dari atas sana, pandangan Alila tertuju pada Izzam, laki-laki yang sejak tadi membuatnya resah usai keputusan itu terucap dari bibirnya.

"Kenapa dia malah setuju sih? Maksudnya apa coba? Dia nggak berhak untuk memutuskan, toh, yang dimintai pendapat adalah Zidan." Alila bergumam pelan sampai detik berikut keberadaannya diketahui oleh Izzam.

Izzam tidak sengaja melirik ke sisi lain rumah tersebut dan mendapati sebuah kamar dengan pencahayaan yang membuatnya sejenak memperhatikan. Dilihatnya gadis yang tidak lain adalah Alila melamun, sesaat sebelum akhirnya mereka bertemu tatap. Alis Izzam menukik satu dengan isyarat seolah mempertanyakan keberadaan Alila di sana, sedangkan Alila buru-buru menutup gorden kamar begitu terciduk Izzam.

"Bocah aneh," cibir Izzam, memasuki mobil.

"Kenapa, Zam?" Kiai menegur.

Izzam menggeleng pelan, mulai menyalakan mesin mobil dan berkelaju pergi meninggalkan pekarangan rumah keluarga Junaid.

"Jadi bagaimana, Bah? Pernikahan itu akan diselenggarakan pekan depan?" Izzam membuka suara bertanya, melanjutkan pembicaraan di perjalanan.

"Lebih cepat lebih baik. Abah juga sedikit merasa kasihan pada keluarga Junaid, mendidik anak memang nggak semudah itu, apa lagi seiring berkembangnya zaman. Kalau nggak dengan iman yang kuat dan bukan dimulai dari didikan orang tua, anak itu bisa saja lost," kata kiai.

Izzam mengangguk. "Iya, Bah. Kadang anak itu hadir sebagai ujian. Setiap orang tua memiliki ujian yang berbeda-beda, tapi dalam hal ini setiap orang tua juga pasti punya cara terbaik menghadapi anak-anak mereka."

"Benar," balas kiai.

Izzam hanya mengangguk dan fokus menyetir, tetapi menit berikut perkataan kiai berhasil membuat Izzam heran.

"Zam, Abah ragu ...."

***

Hari berganti hari dan sore ini menjadi waktu yang dinanti-nanti oleh Izzam. Laki-laki dengan hoodie hitam dan celana berwarna cream yang melekat di badannya itu terlihat tampan dengan gaya tampilan yang demikian, sederhana tetapi memikat. Ummi Nisa di seberang sampai geleng-geleng kepala mengagumi laki-laki usia 22 tahun itu, berjalan ke arah ummi dan kiai dengan senyum merekah.

"Apa nggak bisa Izzam undur pertemuannya? Beberapa hari lagi Zidan akan menikah loh," ujar ummi Nisa.

Izzam tersenyum seraya menyalami tangan ummi Nisa, dia akan pamit pergi sore ini ke kota seberang. Izzam sudah mengulur waktu kepergian beberapa hari terakhir karena masalah keluarganya dan harus kembali sesuai waktu yang telah ditetapkan.

"InsyaaAllah, niatnya kalau berkesempatan hadir nanti Izzam bakal balik bareng Zidan, cuma karena Zidan harus tiba di sini lebih dulu kemungkinan Izzam menyusul sewaktu akadnya saja," balas Izzam seadanya.

Ummi mengangguk. "Hati-hati jalannya, ya."

Izzam membalas dengan senyuman, kemudian bergilir pamit dengan kiai.

"Abah tunggu kepulanganmu, ya, Zam," kata kiai menepuk pundak Izzam.

"InsyaaAllah, Bah. Izzam usahakan," balas Izzam lalu mencium tangan laki-laki paruh baya tersebut dengan khidmat.

Setelahnya Izzam melangkah keluar dari ndalem menuju mobil yang telah siap mengantarnya ke terminal.

Di sisi lain.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang