16. Pacaran

124 23 0
                                    

Izzam melanjutkan perjalanan pulang ke ndalem, sekitar pukul 10 malam tepat setelah melakukan aktivitasnya membantu mengawas santri di pondok. Namun, begitu tiba di teras ndalem Izzam justru bertemu Raini di sana. Awalnya, Izzam bersikap acuh tak acuh karena baginya sudah biasa jika ada beberapa santri putri yang keluar masuk ndalem untuk membantu pekerjaan ummi Nisa di dapur salah satunya. Tetapi, sesuatu yang mengherankan ketika Izzam melihat santri itu pulang selarut ini.

“Assalamu'alaikum, Gus,” sapa Raini dengan kepala menunduk.

Izzam mengangguk dan membalas, “Wa'alaikumussalam.”

“Baru pulang dari masjid, Gus?” tanya Raini.

“Iya. Kamu sendiri, kenapa masih di sini sementara sudah mau larut malam?” tanya Izzam.

“Afwan, saya baru selesai membantu bu Nyai di dapur,” jawab Raini seadanya.

“Oh, kalau begitu segeralah pulang. Nggak baik kalau seorang perempuan berkeliaran malam-malam begini,” balas Izzam hendak melangkah masuk, tetapi terhenti saat Raini memanggil.

“Gus Izzam?”

Izzam berbalik badan dengan alis bertaut heran. “Ada apa?”

“Afwan jika saya lancang, apa boleh saya bertanya sesuatu?”

Izzam tak menjawab dan memilih menunggu gadis itu melanjutkan.

“Sekali lagi mohon maaf, Gus. Kalau boleh tahu perempuan yang tadi datang sama Gus Izzam itu siapa?” tanya Raini seraya memilin ujung hijabnya. Dia nekat mempertanyakan hal tersebut, sebab tidak ada informasi lebih lanjut setelah sejak tadi di ndalem dan dia harus memastikan itu.

“Kenapa?” Izzam justru bertanya balik dengan raut heran menatap Raini.

Raini tersenyum canggung. “Enggak, Gus. Cuma pengin tahu, siapa tahu itu kerabat dekat Gus Izzam, saya hanya ingin kenal saja.”

“Dia istri saya,” kata Izzam pada inti.

Mata Raini membola mendengarnya bersamaan rasa nyeri menjalar di hatinya. Sakit di dalam sini, Raini tidak menyangka akan mendapat jawaban seperti itu dari sosok yang selama ini dia tunggu-tunggu kedatangannya. Sontak mata Raini berkaca-kaca, dan tak berani mengangkat pandangan kepada Izzam di hadapan.

“I-istri Gus Izzam?” tanya Raini kembali memastikan.

“Iya.” Hanya itu balasan Izzam, dia pun tak ingin perpanjang pembicaraan dan beranjak untuk masuk.

“Tu-tunggu, Gus!”

Raini kembali menyahut hingga kedua kalinya Izzam berhenti dan berbalik menghadapnya. Gadis itu mendekat, hendak masuk kembali tetapi Izzam lekas menghadang.

“Sudah malam,” pertekan Izzam.

Raini berubah gelagapan, sesuatu baru terpikirkan olehnya. “Maaf, Gus. Izinkan saya masuk sebentar, masih ada yang harus saya selesaikan.”

“Ini sudah malam, kembali besok!” kata Izzam, tegas.

Raini terhenyak tak lagi berani membantah hingga dia pun memilih berbalik arah tatkala pintu ditutup Izzam dengan rapat. Ada kekhawatiran dalam dirinya menyampingkan kekecewaan yang dia terima setelah mendengar pengakuan Izzam yang sudah beristri. Sulit untuk Raini terima, dia masih tidak menyangka.

“Lalu yang kamu janjikan itu apa, Gus? Kamu ingkar?” monolog Raini dengan air mata mengalir dari pelupuknya, menatap samar ke arah bangunan di hadapan.

Malam kian larut, Izzam baru beranjak ke kamar setelah beberapa saat duduk sendirian di ruang baca yang bersebelahan dengan kamarnya. Pintu didorong Izzam dari luar hingga pintu terbuka menampilkan suasana kamar yang masih terang, sorot pandang Izzam langsung tertuju pada Alila.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang