30. Usil-Usik

114 20 0
                                    

Malam semakin gelap tanpa taburan manik-manik semesta, tak seperti sebelumnya suasana juga cukup sejuk. Namun, tak berarti apa bagi raga yang jiwa dan akalnya tengah berkelana entah ke mana dan memikirkan apa. Hanya samar menatap ke depan seolah tak terganggu dengan bising kendaraan sekitar menandakan dia telah sampai pada puncak lamunan tak tertunda.

Di tempatnya, Alila terus memperhatikan sang suami. Setelah mengemasi barang-barang yang diperlukan untuk ospek besok, dia pun beranjak mendekati jendela di mana Izzam berada.

Mengendap perlahan, kemudia membuat suara mengejutkan Izzam hingga buyar lamunannya. Alila lantas tergelak tawa mendapati ekspresi Izzam.

“Astagfirullah,” ucap Izzam lirih terdengar.

“Ayoo, mikirin siapa?” selidik Alila dengan ekspresi tengil.

Lain dengan Izzam yang memincingkan mata menatap sengit gadis di hadapan kemudian usil mengapit hidung Alila dengan kedua jari tangan membuat Alila memberontak karena kesulitan bernapas.

“Aaa, lepas!!”

“Nah, kan, siapa suruh ngagetin orang duluan? Usil banget!”

“Aah!” seru Alila memaksa Izzam melepas hidungnya seraya mendumel, “Tega banget sih, makin pesek hidungku ini.”

“Salah sendiri.”

“Ya, kamu ngelamun,” balas Alila.

Izzam berdesis dan kembali menghadapkan badan di jendela kamar, sesekali curi pandang pada Alila yang masih dengan raut masam mengusap ujung hidungnya yang memerah. Izzam diam-diam terkikik memperhatikan.

“Makanya jangan usil,” tutur Izzam.

Alila memanyunkan bibir cemberut. “Lagian kamu ngapain sih malam-malam ngelamun di sini? Depan sana ada pohon mangga loh.”

“Ngidam?” celetuk Izzam pada akhirnya mendapat geplakan dari istrinya.

“Macam-macam!”

“Terus kenapa sama pohon mangga?” sahut Izzam.

“Ya, siapa tahu ada penunggunya. Kan, nggak lucu tiba-tiba dirasuki pas lagi ngelamun, masih untung kalau dirasuk kunti, ntar kalau dirasuki kuyang? Ikut melayang-melayang juga kepalamu,” balas Alila.

Izzam langsung menutup jendela kamar.

“Takut juga, kan?” ujar Alila meledek.

“Kebanyakan nonton film!” tukas Izzam mendorong kening Alila dengan jari telunjuknya, kemudian beranjak menuju kasur.

“Kamu nggak lama kulaporkan juga karena kdrt,” gerutu Alila ikut menempati tempat tidur.

Keduanya tak langsung tidur, entah mengapa jadi sulit untuk terlelap barang sesaat pun. Izzam lebih dulu menunjukkan pergerakan bangkit seraya menyandarkan punggung pada sandaran kasur, melirik Alila yang tampak tidak nyenyak berbaring.

“Susah banget sih!” gumam Alila menghela napas gusar.

“Nggak bisa tidur?”

Menoleh pada suaminya, Alila mengangguk.

“Pantasan,” ucap Izzam saat memperhatikan tampilan Alila. Istrinya tidur dengan gamis dan khimar lagi, Izzam pikir itulah yang membuat Alila merasa tidak nyaman dan sulit tidur.

Alis Alila menukik satu, lantas bangun dari baringan kemudian menggeser posisi mendekat kepada Izzam. Izzam sempat terkejut dengan geraknya yang cekatan, hampir saja tendangan melayang.

“Emang kenapa?” tanya Alila, dia berpikir ini ada kaitan dengan ucapannya tadi tentang penunggu pohon mangga samping rumah mereka.

Alila semakin merapatkan badan kepada Izzam, menarik selimutnya kuat-kuat seraya bertanya, “Mereka terusik?”

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang