27. Terlambat

108 19 0
                                    

Semburat cahaya matahari menyambut pagi di kediaman keluarga Junaid, di mana diperlihatkan bunda Hana yang baru saja mengantar suami pergi bekerja dilanjutkan dengan aktivitasnya menghampiri pedagang sayur di seberang jalan. Di sana sudah ada beberapa ibu-ibu komplek lain yang ikut membeli sayur-mayur langganannya, kesempatan bagi bunda Hana untuk bertegur sapa.

“Baru keluar, Bu?” sapa ibu berkerudung merah pada bunda Hana.

“Iyaa,”

“Makin cantik, ya? Pantas saja pak suami betah di rumah, keluarnya cuma pas pergi kerja saja,” goda ibu-ibu lainnya.

Bunda Hana membalas dengan senyum ramah sembari memilih beberapa sayuran. “Mang Oji, pakcoy tiga, ya!”

“Boleh-boleh!”

Dua wanita tadi memperhatikan bunda Hana sesaat, lalu saling menyenggol lengan.

“Eh, Bu. Tahu nggak sih, Bu Ria tetangga saya yang baru saja pindah, tiba-tiba sebar undangan pernikahan anaknya loh!” Ibu berambut sebahu membuka suara berbicara.

Langsung disahuti temannya dengan raut heran, “Kok, bisa sih? Bukannya si anak masih SMA kelas sebelas, ya?”

“Nah, itu dia. Kata tetangga sebelah sih anaknya ketahuan hamil di luar nikah sama pacarnya,” balasnya.

“Iih, seramnya. Anak muda zaman sekarang tuh pacarannya terlalu berlebihan, padahal kita dulu-dulu juga pacaran loh, nggak sampai segitunya juga!” tanggap ibu berkerudung tersebut.

Bunda Hana hanya diam mendengarkan, ada sesuatu yang dia pikirkan sampai ibu-ibu tadi kembali menyahut.

“Menurut Bu Hana gimana kalau menanggapi masalah itu?”

Bunda Hana menggeleng pelan seraya tersenyum tipis dan membalas, “Memang begitulah dampaknya pergaulan yang dibiarkan bebas sebebasnya ibu-ibu, nggak ada jaminan anak-anak nggak terjerumus dalam hal demikian. Itulah mengapa didikan dan edukasi diajarkan dari sewaktu anak itu di rumah, keluarga harus bisa memahamkan sebab-akibat pergaulan bebas tersebut.”

“Saya yang menyampaikan ini bukan berarti saya sudah lebih baik dalam mendidik anak-anak saya, sejatinya kita semua masih harus terus belajar,” lanjut bunda Hana.

Kedua ibu-ibu tadi menganggukkan kepala mengerti.

“Benar sih, Bu. Tapi, kalau begini terus lama-lama pergaulan seperti ini akan semakin menjerumuskan anak-anak kita kepada hal yang nggak baik. Tentunya kita punya ketakutan tersendiri, kira-kira ke depannya kita harus bagaimana ya, Bu? Sementara kita, kan, nggak bisa stay dua puluh empat jam mengawasi anak-anak kita.”

Bunda Hana mengangguk. “Itulah yang masih menjadi PR besar bagi kita sekarang bu-ibu, kadang memang benar orang tua itu nggak bisa mengerti maunya anak, begitupun sebaliknya. Hanya saja kita usahakan buat pendekatan, kalau perlu menjadi teman bagi mereka.”

“Saya rasa itu nggak bakal mencukupi deh, Bu Hana,” sela wanita berkerudung tersebut.

“Memang benar, akan cukup jika lingkungannya juga mendukung, Bu. Dan memang persoalannya sekarang lingkungan kita baik keluarga, masyarakat maupun negara itu nggak mendukung anak-anak kita jauh dari yang namanya pergaulan bebas,” tutur bunda Hana.

“Mereka diserang dari berbagai aspek, ide, kesenangan, makanan, tontonan, musik, itu semua mempengaruhi gaya hidup mereka. Maka mau berharap apa jika mereka sudah terbuai dengan hal-hal seperti itu? Pada hukum peraturan negara? Justru negara kita melegalkan itu semua, welcome terhadap pengaruh luar tanpa ada pertimbangan lebih jauh. Akankah itu merusak generasi atau enggak?”

Wanita berambut sebahu itu mangut-mangut. “Iya, Bu. Benar sekali, kalau dari keluarga atau orang tua nggak dekat dengan anak, terus masyarakat bodoh amatan, dan negara yang lepas tanggung jawab, maka tinggal menunggu kehancuran pada generasi sekarang dan yang akan datang.”

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang