07. Kebimbangan

122 20 4
                                    

Di pagi hari, kampus terhidupi dengan suasana yang tenang dan damai. Cahaya matahari yang baru mulai muncul di atas horizon menyinari gedung-gedung tinggi dengan warna-warna oranye dan biru muda. Angin lembut berhembus sambil mengusap daun-daun pohon yang sedang bersemi, menciptakan suara lembut yang menenangkan. Suasana berubah menjadi semakin hidup dengan kedatangan seorang laki-laki tampan. Cahaya matahari menyinari wajahnya, memberikan kilauan kecerahan pada kulitnya yang bersih, menebar pesona tersendiri. Mahasiswa-mahasiswa terpana oleh keelokannya bahkan tergoda untuk mendekati dan bertanya-tanya tentang asal-usulnya, terpancar jelas dari bagaimana sorot mereka memandang kedatangan laki-laki beralmamater biru tua itu dengan girang.

Dia yang tidak lain adalah Izzam, lelaki berperawakan tinggi tersebut hanya berjalan lurus menelusuri koridor usai melewati kantin rektor, gagah membawa langkah menuju sekret yang menjadi tujuan intinya saat ini. Beberapa orang menyapanya dengan ramah, halnya Izzam pun membalas demikian sampai dia tiba di sekret FMIPA.

"Pagi, Zam!" sapa beberapa teman di sekret, Izzam membalas dengan senyuman.

Awal yang baik baginya setelah dua pekan pulang ke kota kelahiran. Tak sampai 4 hari tiba di perantauan Izzam kembali mengambil job di kampus di akhir semester genap sebelum waktu pelaksanaan PKKMB diselenggarakan dua pekan lagi.

"Wiih, sudah balik saja. Memang totalitas banget, ya, Koas kita satu ini." Seseorang menyahuti Izzam, membahunya dengan penuh semangat.

Izzam hanya menanggapi dengan senyuman sembari merapikan beberapa map di atas meja kemudian berpindah duduk di sebuah kursi.

"Biar cepat kita adakan pertemuan dengan kepala laboratorium," kata Izzam.

Laki-laki dengan name-tag Hairil itu mangut-mangut mendengar perkataan Izzam.

"Oh iya, pekan lalu aku juga ditanyai pak Syam mengenai kamu, kalau yang itu kenapa?" tanya Hairil.

"Masih berkaitan dengan persoalan praktikum untuk maba yang bakal kita ampu selama 1 semester ke depan, beliau ngajak ketemu buat bahas itu," jawab Izzam seadanya.

"Kapan?"

"Besok."

"Kalau lusa?"

Izzam mengerutkan dahi. "Bapaknya minta besok, Ril. Aku nggak bisa ngundur waktu pertemuan di tengah padatnya kesibukan beliau," kata Izzam.

"Bukan tentang itu. Aku cuma nanya, lusa kamu free?"

Laki-laki itu berpikir sejenak. "Kayaknya."

"Nah, bagus!"

"Memangnya kenapa?" tanya Izzam kemudian.

"Healing, yuk, ke pantai!"

Izzam ber'oh ria, baru membalas, "Bisa, tapi lain waktu. Lusa aku mau ketemu dosen PA (Penasihat Akademik) mau konsul."

"Lah? Konsul apa?" Hairil menatapnya heran.

"Ada," balas Izzam bangkit menuju pintu keluar bangunan tersebut.

Hairil lekas mengekorinya. "Jangan bilang awal semester nanti mau sempro?"

Izzam tersenyum tipis tanpa niat menjawab pertanyaan sang teman, terlihat santai saat dia menarik langkah keluar dari sekret.

"Benar, ya?" tebak Hairil lagi.

"Do'akan yang terbaik," kata Izzam, menatap lurus ke depan.

"Ck, jangan buru-buru kenapa?" celetuk Hairil.

"Kuliah harus ditargetkan selesai, Ril," ujar Izzam.

"Tapi, nuntut Ilmu nggak harus bertarget gitu," gumam Hairil.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang