Azan subuh berkumandang dari masjid seberang, samar-samar terdengar. Entah sudah berapa lama gadis itu tertidur. Dengan lembut, kelopak mata Alila terbuka, menyambut hangat sinar mentari pagi yang menerobos masuk melalui jendela kamarnya. Perlahan, ia mengerjapkan mata, membiarkan kesadaran perlahan-lahan merayapi benaknya. Rambut cokelatnya yang halus jatuh lembut di sekitar wajahnya, sementara aroma segar embun pagi mengisi udara. Beberapa saat Alila tersadarkan pada sesuatu yang membuatnys seketika bangkit dengan napas tak beraturan.
Menatap ke segala penjuru ruangan, Alila sudah mendapati dirinya berada di tempat berbeda, bukan lagi di tempat terakhir dia ambruk tak sadarkan diri. Alila kemudian baru menyadari keberadaan bunda di samping tempat tidur, berdiri menatapnya dengan sorot penuh tanya.
"Bunda?"
Tak ada jawaban, bunda Hana sama sekali tak merespons sang putri hingga kepergiannya di sana meninggalkan kebingungan bagi Alila. Gadis itu memijat kepala dan meringis pelan tatkala tanpa sengaja menekan lukanya di sana. Alila ingat kejadian kemarin, tetapi tak tahu sudah sejak kapan di rumah.
Pagi ini di meja makan sudah ada ayah, bunda dan Khadafi. Alila turun setelah membersihkan badan, mengenakan gamis dan kerudung sederhana seperti biasa. Dengan ragu bergabung bersama keluarga besarnya di meja makan, Alila merasa gugup takut diinterogasi.
"Alila, sudah sehat, Nak?"
Ayah yang pertama menyapa, disusul Khadafi yang hanya menatapnya beberapa saat lalu segera memulai sarapan.
Mengangguk singkat, Alila membalas, "Alhamdulillah sudah, Yah."
"Gimana nggak sehat? Orang semalam nyampe 2 botol diinfus," ujar Khadafi.
Alila sedikit terkejut mendengarnya. Dia baru menyadari itu saat bunda pergi dari kamar tadi.
"Disarankan nggak langsung mandi selepas infus," tambah Khadafi mengingatkan.
Kali ini Alila lebih tertegun mendengar pernyataan abangnya, dia justru melakukan hal sebaliknya dari yang dianjurkan. Namun, memilih diam demi keamanannya.
"Sudah, Alila jangan lupa minum obatnya. Jaga kesehatan mulai dari sekarang," kata ayah diangguki putrinya.
Perhatian Alila teralih pada bunda, dia tidak mengatakan apapun saat menyajikan sarapan untuk Alila. Alila juga enggan untuk menegur hingga sarapan berlangsung pagi itu.
Siangnya Alila memilih untuk menetap di kamar, kejadian kemarin cukup membuatnya trauma. Tetapi, rasa penasaran tak dapat terabaikan, Alila ingin mengetahui dengan alasan apa dia ditinggalkan oleh teman-temannya setelah berkumpul di salah satu cafe kemarin, hingga dia dibawa ke satu tempat yang cukup mengerikan.
Sayangnya, Alila lupa di mana dia meninggalkan tas dan handphone terakhir kali. Dia hanya mengingat detik-detik bangun di ruang gelap kemarin dan berurusan dengan para bedebah itu.
"Hapeku nggak tahu ke mana, apa iya aku ke rumah Indana sekarang?" monolog Alila.
Dia memikirkan itu sejak tadi, tetapi tidak begitu yakin orang tuanya akan mengizinkan dia pergi. Walau begitu, Alila tetap memaksakan khendaknya, dia butuh pengakuan beberapa temannya dan harus dengan izin orang tua agar bisa pergi.
Alila memutuskan untuk ke rumah Indana, salah satu temannya yang dicurigai terlibat dalam masalah kemarin. Namun, begitu sampai di ruang keluarga Alila justru disambut dengan percekcokan antara bunda dan abangnya.
"Bunda nggak bisa ambil keputusan sepihak begini," ujar Khadafi di sudut ruangan.
Bunda menatap nanar, hidungnya kembang kempis mendapat pertentangan. "Apanya yang Bunda putuskan sepihak, Dafi? Ayahmu setuju, bahkan kami sudah jauh-jauh hari memikirkan perkara ini."
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
SpiritualTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...