10. Halal untuk Alila

127 20 0
                                    

Menjelang siang perkumpulan masih berlangsung di kediaman Junaid dan keluarga, mereka menyepakati walimahan tetap digelar meskipun resepsi ditiadakan. Alila yang mengajukan syarat tersebut dan mudahnya keluarga kiai Ahmad menyetujui itu, tentu dengan sesuatu yang juga telah keluarga kiai sepakati.

“Seperti yang kita bicarakan sebelumnya, Ju. Kami meminta maaf yang sebesar-besarnya, karena kelalaian kami acara ini hampir gagal terlaksana, dan besar harapan kami untuk kalian sekeluarga bisa ikhlas menerima Izzam menjadi bagian dari keluarga ini,” ujar kiai Ahmad melanjutkan pembicaraan setelah ibadah dzuhur siang itu.

Izzam ikut membersamai kiai dan ayah mertuanya di masjid terdekat usai akad nikah terlaksana. Sepanjang pembicaraan Izzam hanya menyimak, turut merasa tak enak hati kepada Junaid dan keluarga. Apa yang terjadi hari ini membuat Izzam sulit memposisikan diri dan hati, terutama kepada Zidan yang entah bagaimana tiba-tiba menghilang begitu pernikahan ditetapkan.

“Tidak perlu merasa sungkan seperti ini, Pak Kiai. Karena sesungguhnya pernikahan ini terjadi karena kemauan kami juga, urusan mengapa bukan Zidan yang menjadi pengantin mungkin saja ada mis-komunikasi di antara kita semua sebelumnya, dan terkait Izzam ... justru kami yang merasa tidak enakan karena dia harus terlibat dalam masalah ini,” tutur Junaid.

Izzam melirik, tak ada satupun sanggahan yang keluar dari mulutnya sampai pembicaraan selesai dan mereka tiba di rumah.

Tersisa anggota keluarga inti di ruang tengah, sementara beberapa anggota keluarga lainnya telah pamit pulang saat acara berakhir beberapa waktu lalu. Di sana ada ummi Nisa dan bunda Hana, sedangkan Khadafi baru menyusul beberapa saat setelah Izzam dan yang lainnya tiba.

Kiai dan ummi Nisa akan pamit pulang siang ini dikarenakan pesantren tidak bisa dibiarkan kosong tanpa penghuni dalam, meski kiai telah mengamanahkan ustadz Yahya selaku orang terpercaya dalam mengontrol pesantren tetap saja peran mereka amat dibutuhkan oleh pihak pondok. Junaid dan keluarga pun memaklumi itu.

“Kami titip Izzam di sini, ya, dan Izzam jaga diri baik-baik,” ucap ummi Nisa tersenyum samar, ada kesedihan di matanya ketika menatap sang putra hingga dia memalingkan wajah menyembunyikan sorotnya yang telah berembun.

“Pasti, Ummi. Kami akan menjaga Izzam di sini.” Bunda Hana menyahuti, meraih kedua pundak ummi Nisa dan mengusapnya lembut untuk menenangkan.

Perhatian mereka kemudian tertuju ke arah seberang, di mana Alila muncul dengan baju pengantin yang masih melekat di badannya. Sedikit tersendat-sendat dalam melangkah tatkala sang abang menyeretnya kemari.

“Nggak usah nyeret-nyeret bisa?” protes Alila setengah berbisik dengan tatapan intimidasi terarah pada Khadafi.

“Kamu kalau nggak diseret nggak bakal gerak juga, cewek mageran!” cibir Khadafi membalasnya tak kalah ketus.

Alila mengerucutkan bibirnya malas meladeni Khadafi, matanya kemudian memindai seluruh anggota keluarga di sana hingga bibir Alila terkatup tatkala menyadari semua mata memandang ke arahnya. Sontak Alila menunduk malu sebelum sorotnya terhenti pada Izzam. Laki-laki yang beberapa waktu lalu sah menjadi suaminya itu menatap ke arahnya lekat tanpa kata, terlihat menyebalkan bagi Alila yang seolah merasa diremehkan olehnya.

Kiai menepuk pundak Izzam, membuyarkan lamunan putranya seraya berkata, “Apapun yang terjadi nanti tetap ke depankan komunikasi, karena mau bagaimana pun juga dia sudah resmi menjadi pasangan hidupmu. Pesan Abah, tata terus hatimu sampai benar-benar ikhlas, Zam.”

Izzam mengangguk sekali, lirih membalas, “Iya, Bah.”

Kiai teralih pada Junaid, menjabat tangan besannya sebelum beranjak. Alila didekati bunda Hana, menegur gadis itu untuk berpamitan kepada mertuanya. Mau tak mau Alila menuruti bunda, mendekati ummi Nisa dan menyalami tangan wanita paruh baya tersebut.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang