24. Antara Dua Saudara

96 22 4
                                    

Lembaran demi lembaran buku dibuka, tak terasa seiring berjalannya waktu bacaan pun sudah mencapai batas halaman terakhir dengan kesimpulan dan penutup yang begitu singkat. Namun, masih juga belum memuaskan sosok yang kini masih amat haus akan ilmu. Rasanya masih ingin lagi dan lagi, seandainya dia tidak ingat sudah sampai jam berapa telah menghabiskan waktu seorang diri di sana.

Pukul 3 sore, Izzam sudah cukup lama rupanya di ruang baca. Dia sampai lupa belum mengisi suplemen siang setelah pulang dari klinik beberapa jam lalu bersama Alila.

Embusan napas Izzam terdengar, teringat Alila seketika membawanya pada ingatan tempo hari tentang pembicaraannya bersama Alila mengenai satu persoalan yang pada akhirnya membuat Izzam mau tak mau melakukan kesepakatan dengannya.

"Aku baru percaya kalau kamu bisa tunjukan bukti nyata."

Dahi Izzam berkerut, lantas bertanya, "Dengan apa?"

"Mudah. Jangan punya anak dulu sebelum aku siap!"

Kedua mata Izzam menatap lamat sorot istrinya, ada sesuatu yang dia pikirkan. "Kamu yakin tentang itu?"

Alila mengangguk kuat.

Izzam melipat tangan di depan dada, lalu berjalan mendekati istrinya. "Sampai kapan kamu akan siap?"

"Ya nggak tahu, pada intinya kamu nggak boleh nyentuh aku seenaknya, atau melakukan hal senonoh tanpa seizin aku!" pertegas Alila.

"Fine, but with conditions," tawar Izzam.

"Apa?"

"Istilah menyentuh itu masih umum Alila, tapi kalau yang kamu maksudkan adalah spesifiknya menyentuh dalam arti ijtima (bergaul) bagi pasangan suami istri, aku bisa saja menimbang permintaanmu itu, asal tidak melenceng jauh dari yang disyari'atkan. Dengan alasan kamu belum siap, aku upayakan untuk memakluminya, tapi ketika di waktu-waktu tertentu aku nggak bisa jamin nggak nyentuh kamu," kata Izzam sungguh-sungguh.

Alila mengetuk dagu dengan jarinya, dia mulai mengerti ucapan Izzam, lantas dia berkata, “No problem, deal!"

Kedua kalinya Izzam mengembus napas berat seberat beban di kepalanya menampung banyak masalah.

"Pantas abah nanya mampu atau enggak."

Di sisi lain rumah, ketukan terdengar di seberang pintu utama berhasil mengalihkan fokus Alila yang tampak sibuk dengan beberapa berkas di atas meja. Langkahnya kemudian terbawa untuk membukakan pintu rumah, tetapi begitu melihat siapa tamu yang datang dia justru tertegun di sana.

Tidak jauh berbeda dari sosok yang didapati Alila di hadapan, sosok yang tak asing menurutnya melirik dari atas hingga bawah dengan sorot tajam.

"Cari siapa?" Alila bertanya setelah beberapa saat mengumpulkan kesadaran akan keberadaan laki-laki berperawakan tinggi tersebut.

"Izzam. Ada Izzam?"

Dengan sedikit rasa heran Alila pun mengangguk pelan kemudian berbalik badan hendak memanggil suaminya, tetapi berhenti begitu mendapati keberadaan Izzam yang baru saja tiba di sana. Lantas Alila mendekat kepadanya, tidak begitu dihiraukan hingga sang suami berjalan ke arah pintu di mana laki-laki itu berdiri.

"Zam," sapanya seraya mengulurkan tangan hendak berjabat. Namun, sosok di hadapan kukuh bergeming dengan raut datarnya.

Merasa terabaikan sontak laki-laki yang tidak lain Zidan menarik tangannya kembali, tersenyum kecut menatap Izzam.

"Pulang dan sampaikan semuanya kepada ummi dan abah, kalau kamu masih menganggap mereka orang tuamu, Zidan."

Begitu yang dituturkan Izzam ketika berada di sebuah ruangan di mana hanya ada dia dan Zidan. Suasana menjadi tegang saat keduanya kembali berhadapan, Izzam terus membuang muka dengan kedua tangan yang diselipkan ke dalam saku celana, terkepal kuat menahan emosi dalam dada.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang