33. Jejak Kebingungan

85 8 0
                                    

Angin berembus dari arah selatan membuat suasana sore ini terasa sejuk dan menyegarkan. Lirik ke samping rumah Alila menyunggingkan seulas senyuman begitu mendapati pohon mangga di halaman berbuah lebat, tertebak beberapa di antaranya ada yang berbuah matang.

“Mas Izzam!” panggil Alila, tetapi tidak ada sahutan dari dalam rumah.

Alila ingin meminta bantuan suaminya mengambilkan buah tersebut. Namun, pikirnya Izzam tidak akan setuju, sehingga Alila memutuskan untuk mengambilnya sendiri.

Pohon mangga berbuah lebat dengan pokok dan dahan yang lumayan tinggi menjadi fokus Alila saat ini, dia memikirkan strategi mendapatkan buah segar itu. Pertama, Alila mengambil ranting kayu untuk mengais buah tersebut tetapi tampaknya tidak mudah. Kedua, Alila terpikirkan melempar batu ke arah sasaran tetapi batu-batu tersebut justru melesat ke halaman tetangga, beruntung tidak sampai terkena jendela rumah dan mendapat teguran pedas yang mungkin akan diterimanya dari tetangga sebelah.

Beberapa strategi telah Alila upayakan, sepertinya dia akan menggunakan strategi terakhir dengan mengeluarkan bakat terpendam memanjat pohon tersebut. Padahal di jendela kamar seberang Izzam diam-diam memperhatikan istrinya yang tampak bersemangat menggapai tujuan.

“Nah, nggak salah dulu pernah manjat pohon jambu samping rumah pak RT. Lumayanlah skill memanjatku ini,” monolog Alila setelah berhasil menempatkan bokong di dahan pohon mangga.

Dia mulai melancarkan aksi memetik beberapa buah yang menurutnya sudah matang dan menjatuhkan buah tersebut ke tanah, tanpa Alila sadari sejak tadi Izzam berpindah posisi memperhatikan dari bawah sini.

“Woy!” tegur Izzam.

“Ya Allah, bunda!” sebut Alila, hampir saja kakinya terpeleset karena terkejut.

Alila melirik ke bawah dan mendapati Izzam terkikik memperhatikan.

“Wa woy wa woy, untung nggak jantungan, ya!” rutuk Alila.

“Ngapain di situ?”

“Metik pahala, nanya lagi,” jawab Alila, ketus.

“Ini sudah mau magrib loh, bukannya istirahat di dalam rumah malah asik cosplay jadi monyet di sini,” omel Izzam bersedekap tangan di dada.

“Dih, biarin. Kalau aku monyet berarti kamu suami monyet dong,” pungkas Alila memutar netra malas.

“Sudah, ini sudah banyak mangga yang kamu petik. Sudah minta ke pemiliknya belum?” tanya Izzam kemudian.

“Loh? Memangnya ini bukan punyamu?”

“Bukan,”

“Yah, terus gimana? Sudah telanjur aku petik ini buah,” tutur Alila.

“Makanya lain kali nanya dulu. Ini pohon memang bukan punyaku, aku cuma sewa rumah selama empat tahun buat ditempati, tapi kata pemilik tanah ini nggak pa-pa kalau yang ditanami di lahan ini dimanfaatkan, termasuk pohon dan buah-buahnya,” perjelas Izzam sembari mengumpulkan buah tersebut ke dalam keranjang.

“Bilang dong. Ini malah basa-basi, niat banget ngerjain orang,” celetuk Alila dengan raut cemberut.

“Sudah, cepat turun!” titah Izzam.

Alila mengangguk lalu melirik ke bawah, mendadak kepalanya pusing menyadari telah berada di ketinggian.

“Ya Allah, kok, tinggi banget?” keluh Alila. Pada bagian ini dia merasa kesulitan, terlebih dia masih mengenakan kaus kaki.

Bingung pula dirinya ketika mengalami kesulitan untuk turun tetapi tidak mendapati kesulitan saat memanjat tadi.

“Kok, diam saja?” tegur Izzam setelah selesai mengumpulkan beberapa buah mangga.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang