36. "Berdetak?"

138 16 0
                                    

Gerimis melanda sebagian kota sejak malam tadi membuat suasana menjadi sangat dingin sampai dini hari, tak lama disusul derasnya hujan yang turun semakin menambah dinginnya di suhu ruangan.

Sederas hujan yang turun sederas itu pula terdengar gemercik air dari bilik penghujung sana mengalihkan atensi Alila yang sejak tadi asik membaca sebuah buku ke arah seberang bersamaan diperlihatkan Izzam muncul dari dalamnya.

Helaan napas terdengar dari laki-laki berkaus hitam oblong tersebut, menatap remang atap kamar dengan sorot frustrasi.

“Baru kali ini aku makan taruhannya nyawa,” gumam Izzam.

Alila yang mendengarnya terkikik, kemudian bangkit sembari melangkah dekat kepada sang suami.

“Makanya, jangan sok-sokan makan yang pedas, kamu sih ikut-ikutan,” ujar Alila dengan tawa tersisa.

Teringat semalam Izzam begitu bersemangat menghabiskan semangkuk seblak dengan level kepedasan yang cukup tinggi. Alhasil, Izzam merasakan sakit teramat di perutnya sejak subuh tadi, berbeda dari Alila yang sudah terbiasa dan merasa baik-baik saja.

“Heran sih aku, kok, bisa kalian perempuan bisa tahan makan makanan pedas?” tutur Izzam.

Alila mengedikkan bahu tak tahu. Sembari mendekat kepada Izzam yang sudah terduduk di sofa Alila menuangkan minyak kayu putih di telapak tangannya.

“Sini,” titah Alila seraya duduk di samping sang suami.

“Apa?”

“Mau aku olesi ini,” jawab Alila, mengangkat kaus Izzam lalu dengan telaten mengoleskan minyak tersebut di permukaan perut Izzam.

Izzam sontak terkejut dengan aksi Alila membuatnya gesit menahan pergerakan tangan sang istri.

“Kenapa?” tanya Alila.

Tak menjawab, Izzam memasang ekspresi tegang dengan mata lekat menatap.

“Biar aku oles, Mas. Supaya perut kamu bisa mendingan,” kata Alila, melanjutkan aktivitas mengoleskan minyak tersebut.

Izzam tak lagi menyanggah, membiarkan Alila melakukannya sebelum.

“Coba balik badan, Mas, buka bajumu!” Alila memerintah.

Kedua kalinya Izzam melototinya, kali ini Alila balas menatap heran.

“Buat apa?” tanya Izzam.

“Punggung kamu juga kayaknya perlu dioles, siapa tahu perutmu sakit gara-gara semalaman diterpa angin jalanan terus masuk angin,” jelas Alila.

“Nggak, nggak usah,” tolak Izzam.

“Loh, kenapa? Masih untung aku mau bantuin kamu ya, Mas.”

“Aku nggak pa-pa,”

“Sini. Nggak usah malu-malu gitu,” balas Alila menarik suaminya lebih dekat.

“Aku yang harusnya heran, kok, kamu nggak ada malu-malunya?” sindir Izzam.

Alila melirik suaminya malas, lantas menjawab, “Namanya juga mau bantuin, lagian aku, kan, istri kamu.”

Izzam memiringkan kepala dengan mata memincing menatap istrinya, seulas senyuman singgah di ujung bibir Izzam tatkala melihat wajah Alila memerah mengakui statusnya barusan.

“Ya sudah, ayo!”

Alila mengerutkan kening sesaat sebelum mendapati pergerakan Izzam yang mulai membuka kaus di badan, sontak membuatnya langsung menundukkan pandangan. Entah, mendadak Alila merasa malu.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang