39. Perasaan Sebal

135 17 4
                                    

C for Cemburu, satu kata yang menggambarkan perasaan Izzam saat ini, ekspresi laki-laki itu amat mudah tertebak oleh Hairil yang berada di sekitarnya. Niat hati datang kemari untuk bersua dalam medan diskusi bersama anggota kajian ormawa, nyatanya tidak sesuai rencana ketika sang ketua justru diusik ketenangan hati dan jiwanya.

Tatkala menyaksikan Alila yang sedang berbincang dengan seorang laki-laki di seberang, Izzam sampai tidak fokus menyampaikan apa yang jadi tujuannya di sana. Kajian mengenai isu terbaru di dunia perpolitikan internal dan eksternal kampus yang mana posisi Izzam adalah sebagai pemandu berjalannya diskusi berlangsung.

“Silakan dilanjutkan, Bang,” ujar Hairil mengarahkan anggota ormawa.

“Baik perkenalkan saya ....”

“Aku Soleh Hambali,”

“Siapa yang suruh dia memperkenalkan diri?” gumam Izzam saat saksama memerhatikan interaksi Alila dengan laki-laki yang menyebut namanya itu seberang tak jauh dari komunitas.

“Ah? Gimana Pak Ketua?” Sang anggota yang justru tersinggung, belum juga menyebutkan nama sudah langsung disemprot sahutan oleh Izzam.

“Hah? Apa?” Fokus Izzam akhirnya teralihkan pada rapat yang mereka selenggarakan.

“Fokus, Zam. Mikir apa sih?” tegur Hairil menyenggol lengan sang teman.

“Oh iya, maaf. Ada apa?” tanya Izzam kembali memposisikan diri meski sesekali melirik ke arah sang istri.

“Saya akan memperkenalkan diri, Pak. Jadi sekiranya boleh dilanjutkan?”

Mengangguk, Izzam menjawab, “Itu harus, tak kenal maka tak suka.”

“Gak suka, katanya gak sayang. Nah, biar sayang maka harus kenalan.” Soleh menyambung kalimatnya.

Entah kebetulan macam apa ini, Izzam lagi-lagi terusik ketika dengan lantang mendengar seorang laki-laki menggoda istrinya di seberang.
Hairil yang diam-diam memerhatikan tingkah Izzam hampir tak kuasa menahan tawa. Wajah Izzam yang tampak datar dengan telinga memerah begitu kentara menunjukkan ketidaksukaan.

“Istrimu didekatin tuh, yakin dibiarin gitu saja?” Hairil usil memanas-manaskan suasana, kesempatan baginya untuk menggoda Izzam.

Meski tidak dibalas, Izzam tak dapat membohongi perasaannya. Hairil sudah lama dekat dengan Izzam, mudah baginya menebak Izzam walau hanya dengan ekspresi yang dia tunjukan.

“Jadi, menurut saya analisis tentang isu yang kita angkat ini harus lebih dipertajam lagi, karena kalau cuma berpatokan pada naskah sebelumnya belumlah menemui hasil pasti dan memuaskan,” usung seorang anggota ormawa di tengah berlangsungnya diskusi beberapa waktu lalu.

“Oke, stop. Masih ada lagi yang mau ditambahkan sebelum saya?” Izzam bersuara.

“Apa lagi yang mau ditambahkan, Zam? Usulannya bagus,” ujar Hairil.

“Sejauh ini sudah kita dapati perkembangan opini yang kita paparkan, tapi saya rasa masih ada yang kurang. Makanya saya bertanya, ada yang ingin memberi masukan lain sebelum saya sampaikan letak kurangnya di mana?” perjelas Izzam.

Di penghujung Maya mengangkat tangan, Izzam pun mempersilakan.

“Menurut saya, dari segi solusi belum kita paparkan pada bagian penggiringan opini, jadi kalau cuma sebatas fakta dan analisis yang dipaparkan maka akan kelihatan gantung tanpa solusi yang dapat ditawarkan,” tutur Maya. Meski baru setahun bergabung di ormawa, Maya sudah biasa menunjukkan kepiwaian dalam bersosialisasi sehingga mudah baginya mengimbangi interaksi dalam medan diskusi.

“Benar. Itu yang juga saya maksudkan, thank's, Maya ....” Izzam melanjutkan.

Hari semakin gelap menemui ujungnya, semburat senja di langit sore itu pun sudah tidak lagi terlihat, sementara di sini Alila berada, menunggu kedatangan Izzam di penghujung jalan setelah keluar dari parkiran. Dia masih merasa tidak nyaman di tengah keramaian terlebih di sana tidak ada yang begitu dia kenal.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang