05. Keputusan

175 16 1
                                    

Gadis berbulu mata lentik itu mengerjap pelan, dahinya turut berkerut berusaha menyesuaikan cahaya yang masuk. Perlahan membuka mata, sorot redupnya langsung bertemu dengan keberadaan Izzam membuatnya kembali menetralkan penglihatan dan sadar bukan Izzam yang dilihatnya.

"Aku di mana?" tanyanya lirih memegang kepala yang terasa sakit.

"Kamu di rumah, Al." Khadafi membantunya bangkit dari baringan kemudian memposisikan Alila menyandarkan diri dengan tumpukan bantal. "Kamu nggak pa-pa?"

Alila beralih melirik Khadafi, tak merespons sampai dia teringat sesuatu yang terjadi sebelumnya.

"Bang, tadi aku ...."

"Kamu diculik, Abang tahu itu." Khadafi menatapnya serius, tersirat rasa tak enak hati di wajah Khadafi karena tidak bisa menjaga adiknya.

"Tapi, aku nggak sendiri, Bang," sela Alila.

"Iya, Abang tahu. Kamu tadi diculik, dan untungnya calon suami kamu itu yang membantu menyelamatkanmu," tanggap Khadafi.

Alila terdiam sesaat, kepalanya kembali terasa sakit hingga kemunculan bunda dan ayah dari ambang pintu mengalihkan perhatiannya.

"Alila sudah sadar?" tanya bunda Hana mendekati Alila.

Putrinya itu menggeleng pelan, kemudian meringis kesakitan begitu mendapati telapak tangannya diperban.

"Tangan kamu masih kaku, jangan banyak gerak dulu," tegur Junaid.

Alila mengangguk.

"Salahnya juga, Yah. Alila nekat banget megang beling, sudah dua kali tanganmu luka begitu, nggak lama diamputasi juga itu tangan," cibir Khadafi.

Bunda sontak menggeplak lengan Khadafi. "Salah kamu juga, adik kamu sampai kayak gini karena kamu tinggalin dia sendiri."

"Ya, Khadafi nggak tahu, Bunda. Ila sendiri yang bilang mau diantar sama calon suaminya, nggak tahu malah diculik," balas Khadafi terus terang.

Alila spontan melirik tajam ke arah Khadafi.

"Apa? Mau ngelak lagi? Enak banget ya kamu, Abang terus yang disalahin," celetuk Khadafi.

Alila menundukkan pandangan dengan bibir mengerucut kesal.

"Sudah-sudah, kalian ini sudah besar malu kalau berantem terus, apa lagi adik kakak." Bergilir Junaid yang bersuara melerai perdebatan.

"Tuh, dengarin!" tegur Khadafi menyentil kening Alila.

"Abang!" pekik Alila, kesal.

***

Sayup-sayup terdengar selawatan di masjid seberang memperlihatkan banyak santri yang tengah melaksanakan aktivitas pagi mereka menambah sejuk suasana hari itu. Di sisi lain, dengan langkah tegap, Izzam mulai beranjak keluar dari masjid, tatapan matanya yang tajam seolah menyimpan ribuan cerita. Wajahnya yang tampan dihiasi lebam di pipi kirinya seakan menjadi tanda tanya bagi siapa pun yang melihatnya. Meskipun terlihat sedikit terluka, aura kharismatik yang terpancar dari dirinya mampu menarik perhatian setiap orang di sekitarnya, termasuk beberapa santri dan tenaga didik di pesantren.

"Kelihatannya sakit banget lukanya, Gus. Sudah diobati?" Ustadz Yahya menyapa Izzam pagi ini. Teringat semalam mereka pulang menjelang subuh karena mengurus masalah penculikan Alila, Izzam dan ustadz Yahya juga harus mengantar gadis itu pulang ke kediamannya.

"Nggak pa-pa, Ust. Sudah nggak sakit juga," kata Izzam.

Ustadz Yahya mengangguk beberapa kali. "Oh ya, terus bagaimana dengan orang-orang semalam itu, Gus? Mau dilanjutkan proses pencariannya?"

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang