“Alila tahu itu, pak Kiai?”
Tangan Khadafi mengepal kuat teriring wajahnya yang memerah tatkala suara bunda bergetar terdengar, menyambut sebuah kabar dari keluarga besar pesantren menjelang pagi ini.
Laki-laki dengan kopiah di tangannya itu tak henti menatap remang ke depan, lamunannya buyar ketika tangan sang ayah meraih pundak.
“Apa yang kamu pikirkan, Daf?” Junaid menegurnya.
Melirik sekilas, Khadafi lantas membalas, “Enggak. Seharusnya Dafi yang nanya, setelah ini apa yang bunda dan ayah pikirkan? Apa yang akan kalian lakukan?”
“Kita akan menunggu keputusan dari Izzam,” sahut bunda Hana usai mengakhiri panggilan.
“Keputusan apa, Bun? Keputusan yang Izzam akan menerima perjodohan tersebut kemudian memoligami Alila?” seloroh Khadafi.
“Apa yang kamu bicarakan Dafi?” Junaid menyahuti, “bagaimana bisa kamu membuat kesimpulan seperti itu?”
“Harusnya, bagaimana bisa Ayah dan Bunda nggak percaya itu yang bakal terjadi?” tukas Khadafi, “mereka orang-orang terpandang, Yah. Apa lagi dengan bakcround keluarga religius, mudah bagi mereka menggulingkan sebuah keputusan yang mengatasnamakan syariat.”
“Dafi!” seru bunda Hana seketika menggelegar di sana.
Sontak anak dan ayah itu terhenyak, terlebih Khadafi bungkam sejenak saat memerhatikan wajah bunda yang tampak merah padam.
“Berhenti bicara!” tegur Hana, menekan.
“Apa yang Dafi katakan itu fakta, Bunda,” timpal Khadafi.
“Cukup! Bunda nggak pernah mengajari kalian berbicara seperti itu, kamu melampaui batas menuduh orang tanpa bukti!” sergah Hana di hadapan sang putra.
“Bun ...,”
“Apa yang kamu pikirkan, Dafi? Kamu kira bunda nggak peduli akan masa depan kalian? Kamu berbicara seolah kamu tahu segalanya,” lanjut Hana.
“Peduli dan egois adalah sesuatu yang berbeda, Bunda. Sejatinya Bunda cuma mengutamakan ego dengan dalih kepedulian, dan terperangkap dalam perspektif Bunda sendiri, lagi pula bentuk kepedulian macam apa yang sifatnya memaksa?” balas Khadafi dengan suara bergetar.
Junaid sampai menatap tidak percaya, sudah barang tentu perlawanan yang Khadafi tunjukan membuat dia tercengang, tidak biasanya putra sulung mereka bersikap demikian.
Kali ini Khadafi mengikuti kata hati, ketidaksetujuannya terhadap kabar yang diinformasikan kembali menciptakan gelombang pertentangan dalam benak, sesal di dada pun timbul tatkala dahulu dia teringat menyuarakan persetujuannya terhadap pernikahan sang adik.
“Kamu menyalahkan Bunda, Daf? Apa yang Bunda lakukan adalah salah?”
Meringis dalam hati, Khadafi tidak terima dan tidak tega bunda membuat kesimpulan demikian atas pernyataannya. Namun, saat ini dia mengambil risiko akan keberpihakannya pada pilihan sendiri.
“Maaf Bunda.”
***
Alila menatap kontak bunda berulang kali, ada keinginan untuk menyapa kembali setelah beberapa pekan di sini tetapi entah mengapa sulit menggerakkan jari menghubungi, sampai pada akhirnya Alila ragu menuruti kata hati hingga perhatiannya teralih pada kemunculan Izzam di seberang pintu kamar.
Buru-buru Alila berlari menuju lemari, tampak kelabakan dengan rambut hitam bergelombang yang terurai indah melampaui kedua bahunya. Izzam yang baru beberapa saat tiba di sana ikut terkejut mendapati tampilan Alila tanpa kain kerudung untuk pertama kali, indah surainya benar-benar kalah dari ekspektasi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Munazarah
SpiritualTentang Alila, si gadis manis penuh ambisi, yang memiliki keunggulan mematahkan statement lawan di segala ajang debat dan diskusi, banyak mendapat pujian juga apresiasi. Namun, kalah ketika lawannya ibu sendiri. Disebut bukti cinta, sebuah option ya...