14. Kenyamanan

70 14 0
                                    

Alila bangkit dari tempatnya, menghela napas panjang setelah membereskan barang bawaannya untuk persiapan keberangkatan besok lusa. Sebuah koper berisikan bawaan penting telah selesai dia masukkan, masih tersisa beberapa yang harus dia kemasi. Izzam yang berada di seberang sofa geleng-geleng kepala menyaksikan tingkah Alila. Sudah pukul 10, malam semakin larut dan istrinya itu masih sibuk berkutat di depan lemari pakaian. Pikir Izzam, rata-rata perempuan memang seribet itu.

“Kamu nggak capek?” tanya Izzam mengalihkan fokus dari buku bacaannya ke arah Alila.

Alila melirik sekilas. “Enggak, tapi kamu mau bantuin?”

Izzam tak menjawab, Alila angkat bahu acuh tak acuh melihat respons suaminya itu sampai detik berikut lampu kamar dimatikan membuatnya sontak menoleh ke arah saklar.

“Kok, dimatiin?” tanya Alila bangkit dan berjalan menuju saklar tempat di mana Izzam berdiri sekarang.

“Sudah malam,” jawab Izzam.

“Aku nggak bilang masih siang,” balas Alila, ketus. Jarinya menekan tombol saklar hingga lampu dinyalakan.

“Harus istirahat,” kata Izzam mematikan lampu itu lagi.

Alila tak terima dan kembali menghidupkan lampu kamar. “Aku belum selesai berkemas.”

“Besok masih sempat,” ucap Izzam kembali mematikan lampu.

Sekali lagi, lampu itu dinyalakan Alila. “Nggak sempat, harus selesai malam ini pokoknya!”

Izzam mengembus napas berat dan berkata, “Nggak. Kamu harus tidur.”

Ke sekian kali Izzam menekan tombol saklar hingga ruangan kembali gelap tanpa pencahayaan. Alila yang tak mau kalah pun menatap jengkel Izzam, lalu menekan tombol saklar, sayangnya lampu tak lagi hidup membuatnya bingung.

“Kok, nggak nyala? Lampunya rusak?” gumam Alila menatap langit-langit kamar.

“Sudah, itu tandanya malam dukung kamu buat istirahat, tidur sana,” celetuk Izzam dengan rasa puas kembali menuju sofa.

“Gara-gara kamu!” pungkas Alila tak terima.

Izzam mendongak pada Alila tak berniat menjawab, entah mengapa dia merasa sangat kelelahan dan butuh waktu untuk istirahat lebih cepat. Namun, Alila tampak tidak mengerti.

“Kok, kamu diam saja? Kayak nggak ada rasa bersalahnya banget?” protes Alila kemudian.

“Terus kamu mau aku ngapain? Teriak?” celetuk Izzam.

“Ya, kamu ngelakuian apa gitu biar lampunya nyala, dan aku bisa lanjutin pekerjaanku,” balas Alila.

“Bisa besok,” pertegas Izzam dengan suara lirih, malas berdebat.

Alila berdecak sebal tak lagi menanggapi Izzam dan memutuskan untuk tetap melanjutkan pekerjaannya membereskan barang tersisa dengan pencahayaan seadanya di ruangan redup tersebut. Berlanjut hingga pukul 12 malam Alila masih stay di depan lemari pakaian, bersimpuh di tengah tumpukkan baju yang belum sempat dia rapikan kembali, sementara matanya mulai mengantuk hingga tak butuh waktu lama Alila akhirnya tepar beralaskan tumpukan kain itu dan tertidur.

Izzam yang belum sepenuhnya terlelap pun beranjak dari baringan berjalan menghampiri Alila dan berjongkok di hadapannya. Lekat memperhatikan istrinya sejenak tanpa sadar membuat Izzam mengulas senyum tipis dengan gelengan kepala merutukinya.

“Kalau ngantuk ya tidur, bukan memaksakan diri kayak begini, bocah!” gumam Izzam melemaskan tenaga mengangkat bobot gadis itu secara perlahan, Izzam berpikir dengan demikian tidak akan begitu mengusik tidur Alila.

MunazarahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang