Chapter 12

573 86 5
                                    

Kelihatan kalau perut (Name) yang sudah buncit di akhir trimester pertama ini, alias sudah tiga belas minggu usia kandungannya. (Name) bangga bisa membawa kandungan di keadaan begini. Setiap pemeriksaan pun, anaknya dinyatakan sehat.

Di setiap pemeriksaan juga, dokter menekankan agar kurangi stress yang ibu rasakan. Jangan lupa juga untuk makan yang rajin serta minum vitamin yang rutin. Pokoknya dokter selalu menanyakan kebahagiaan (Name) selama ini.

Selama tiga bulan menjadi menantu Fania, tak ada perubahan baik yang (Name) lihat dari sikap mertua padanya. Masih sama tak sukanya. Meski setidaksuka itu pada (Name), masih ada Sopan yang menjadi teman (Name) di situ (nyatanya suami sih).

Sopan, orang yang ia ajak menikah, demi pertanggungjawaban dan agar anak di kandungannya punya ayah, orang yang selalu menemani dan memberi (Name) semangat untuk bangun dan menjalani hari, meski digempur sikap buruk Fania. Entah dimana lagi (Name) bisa ketemu lelaki asing tapi baik modelan Sopan ini.

Untuk hari ini, (Name) sendiri lagi, sebab Sopan pergi kuliah seperti biasa. Masih sibuk-sibuknya menjadi mahasiswa semester tengah. Di lingkungan kampus, Sopan terlihat biasa dan baik-baik saja, padahal membawa banyak hal di kepalanya. Untung itu tidak sampai membotakkan kepalanya.

"Pagi, bapak."

Sopan senyumin aja diberi panggilan nyeleneh oleh Gentar. Dipanggil bapak, sebab sebentar lagi Sopan akan jadi seorang bapak.

"Gimana kabar anak lo?"

Jika biasanya dua teman bertemu, yang ditanyakan adalah kabar masing-masing, bukan kabar anaknya teman.

Kata Gentar sih; anak lo ponakan gua.

"Dia baik, di pemeriksaan terakhir dia dinyatakan sehat dan terus berkembang dengan baik."

"Ohh ... kapan tuh periksa lagi?"

"Minggu depan ... kenapa perhatian begitu? Bukan kamu suaminya."

Gentar jadi kikuk. "Eeeer, iya sih. Emang gak boleh perhatian sama istri teman?"

"Gak lah, masih ada suami untuknya, yaitu aku."

"Iya sih, ya. Gua sebenarnya nanya-nanya begini karena ada maunya."

"Apa?"

"Gua mau jadi yang pertama jenguk terus gendong anak lo setelah dia lahir."

"Ya sudah kalau itu maumu."

"Eh, ada lagi." Ucapan Gentar menahan Sopan yang hendak membuka buku. "Ditanyain sama sepupu gua."

Sopan menautkan alisnya. "Maksudnya, sepupumu menanyakan (Name)?"

"Iya ... soalnya sepupu gua tuh teman seangkatan (Name) di SMK. Gua heran ngapain dia tanya-tanyain istri orang, katanya iseng nanya, dan gua di-spam pertanyaan yang sama teruuss sampe bosen. Gua suruh tanya ke orangnya langsung malah ogah. Tanya sendiri ke lo juga makin ogah."

"Jadi, intinya?"

"Eeeeer, kalau sempat dan boleh, dia mau ketemu (Name)."

Sopan daritadi sudah curiga dengan topik ini. (Name) ditanya-tanya oleh Gentar saja, Sopan sudah curiga. Lah ini, sepupunya Gentar juga banyak tanya pasal (Name).

"Kalau gak boleh bilang aja, tapi pastinya gak boleh lah. Suami mana juga yang izinin istrinya ketemu cowok lain--"

"--Sepupumu itu pernah suka dengan (Name)?" tanya Sopan

Gentar pun terdiam, menautkan alis. "Gak tau, gak pernah cerita dia."

Sopan hanya mengangguk sekilas, lalu mulai membuka buku.

Certainty [✓]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang