Episode 49🌻

3 1 0
                                    

"Tuhan, apa nyerah adalah pilihan terbaik?"
-Rinai-

Setelahnya, Rinai menjalani hari-hari dengan perasaan yang kosong. Hampa karena isinya sudah sangat penuh dengan berbagai pertanyaan. Kepalanya terasa penuh dan sepertinya akan meledak bagai bom atom yang hanya menunggu beberapa waktu saja. Rinai ingin bertanya, namun kepada siapa? Bertanya kepada Lora hanya akan menimbulkan kekesalan pada diri temannya itu. Apalagi bertanya pada Regan, bisa habis Arta ditangan Regan.

Sayangnya, di perasaan yang sulit ini, Rinai masih tidak ingin Arta dibenci siapapun karena sikapnya yang sudah banyak mengecewakan Rinai.

Hari demi hari dijalani Rinai, berharap semua itu hanya mimpinya semata. Berharap bahwa apa yang dilihatnya hanyalah ilusi karena rasa kekhawatirannya terhadap Arta yang terlalu berlebihan. Rinai berharap, Arta tiba-tiba datang kepadanya dan mengajaknya untuk membeli permen kapas seperti biasanya. Namun sayangnya, bahkan sampai hari ini, Arta belum juga muncul di hadapannya. Lelaki itu belum juga menampakkan dirinya. Hal itu jelas membuat Rinai semakin merasakan sakitnya.

Sampai akhirnya Rinai memutuskan untuk menceritakan apa yang dia lihat dan dia rasakan kepada Lora. Rinai sudah tidak bisa lagi menyimpan ini semua sendiri. Rinai butuh penjelasan. Dan Rinai rasa Lora yang paling dekat dengan Arta. Maka disinilah Rinai sekarang. Duduk dibangku teras rumah Lora, bersama pemilik rumah itu yang sejak tadi memandangi Rinai dengan raut wajah yang penasaran. Sudah hampir satu jam namun Rinai masih enggan mengeluarkan suaranya. Membuat Lora semakin bingung, terlebih ketika melihat raut wajah Rinai yang tampak menyimpan sesuatu.

"Rin, kenapa sih?" Akhirnya Lora membuka suaranya. Tidak sabar karena melihat Rinai hanya terdiam.

Rinai menoleh ke arah Lora, lalu menghembuskan napasnya pelan. "Ra, Arta punya perempuan ya selama ini?"

"Hah? Nggak lah gila," jawab Lora dengan cepat.

Rinai kembali mengalihkan pandangannya dari Lora. "Ternyata kamu pun nggak tahu, Ra. Atau cuma pura-pura gak tahu?"

"Rin, apa sih? Lo habis tahu kenyataan apa?"

"Kamu pasti tahu perihal Arta dan Nilam."

Lora terdiam. Tidak mampu menanggapi ucapan Rinai. Jelas Lora tahu. Namun selama ini memang Lora memilih untuk diam karena hal ini sudah bukan ranahnya. Bukan hak Lora untuk memberitahukan hal ini kepada Rinai.

Melihat Lora yang hanya terdiam, akhirnya Rinai kembali menolehkan kepalanya ke arah Lora. "Bener kan? Kamu tahu?"

"Gue tahu. Tapi yang gue tahu mereka cuma sebatas temen, Rin. Gak lebih," sahut Lora.

"Lo habis denger berita apa? Atau lihat apa?" Lora kembali meengeluarkan suaranya setelah melihat Rinai hanya terdiam.

Lagi-lagi Rinai terdiam. Entah dia harus menceritakan tentang kejadian malam itu atau tidak. Yang jelas, Rinai sangat bingung sekarang. Rinai butuh jawaban atas semua perasaan yang mengganggunya selama dua hari ini.

"Aku lihat Arta sama Nilam waktu pulang dari rumah kamu dua hari yang lalu," ucap Rinai pada akhirnya memberanikan diri untuk bercerita pada Lora.

Sebelum melanjutkan ceritanya, Rinai menghela napasnya kasar. "Aku gak tahu hubungan mereka kaya gimana. Tapi malem itu aku lihat mereka deket banget. Aku juga lihat mereka pelukan. Aku bisa lihat tatapan Arta yang selama ini gak pernah aku dapetin. Bahkan malem itu aku bisa lihat, bagaimana sorot mata Arta, dan juga senyumannya yang tulus. Yang mana aku gak mendapatkan hal itu."

Bayangan Arta dan Nilam yang sedang terlihat bahagia itu kembali memenuhi kepala Rinai. Hatinya benar-benar sakit tidak karuan. Perasaan tulusnya, kini harus merasakan sakit yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.

Lora berdengus pelan. Dalam hatinya merutuki sepupunya yang jalan pikirannya tidak bisa ditebak itu. "Rin, lo mau tahu satu kenyataan lagi gak?"

Tidak. Lora tidak ingin menambah luka Rinai. Namun, menurut Lora hal ini perlu diketahui Rinai. Lagipula, Rinai sudah terlanjur mengetahui kenyataan pahit ini. Biar Rinai merasa sakit itu sekalian. Tidak setengah-setengah. Lora harap, setelah dia memberi tahu hal ini, Rinai mau berhenti mencintai lelaki yang selamanya tidak bisa memberikan dia bahagia.

"Apa, Ra?" tanya Rinai dengan nada lemah. Setengah siap untuk mendengar apa yang akan Lora ucapkan padanya.

"Arta emang sempet mau jauhin lo. Waktu itu dia bilang sama gue," ucap Lora dengan jujur. Walau dalam hati dia sedikit takut akan reaksi Rinai. Namun pada akhirnya Rinai harus mengetahui hal ini. Lora tidak ingin teman baiknya diperlakukan seperti itu oleh Arta secara terus menerus, meski Arta sepupunya sekalipun.

Rinai terdiam. Dalam hatinya sangat terkejut. Namun, entah kenapa raganya seolah-olah tidak memiliki tenaga untuk mengekspresikan keterkejutannya. Maka yang dilakukan Rinai hanya menghela napasnya kasar. Lora semakin khawatir dibuatnya.

"Rin."

"Yaudah lah, kayaknya emang udah waktunya aku nyerah, Ra."

"Gue kasih tahu lo karena gue mau lo tegas sama perasaan lo. Gue gak mau lo diperlakukan kaya gitu sama Arta."

Rinai berusaha tersenyum. Benar yang dikatakan Lora. Dia tidak boleh selamanya lemah dengan perasaannya sendiri. "Makasih, Ra. Akhirnya aku punya alasan buat nyerah sama perasaanku."

'Tuhan, apa nyerah adalah pilihan terbaik?'

^^^

"Sialan lo."

Arta terdiam menatap Lora yang kini berdiri di hadapannya. "Kenapa lagi sih?"

Lora menatap Arta dengan penuh amarah. Tidak habis pikir dengan respon sepupunya itu. Terlihat begitu santai justru membuat Lora sangat muak melihatnya.

"Kenapa ngilang dari Rinai?"

Arta mendengus sebal. "Gak ada niat buat ngilang."

"Anjing ya lo, Arta."

Arta sontak menatap Lora dengan tatapan tidak sukanya. Saat ini mereka sedang berada di pinggir jalan dekat rumah Lora. Beberapa jam setelah Rinai pamit pulang, Lora dengan segera menghubungi Arta dan memaksa lelaki itu untuk bertemu dengannya. Maka disinilah mereka sekarang.

"Stop ngatain gue, Ra. Perasaan Rinai bukan tanggung jawab gue!" ucap Arta dengan tegas.

Lora menggeleng keras. Tidak, yang di hadapannya kali ini bukan Arta yang dia kenal. Lora tidak mengenali Arta yang biasanya selalu berusaha untuk memperbaiki pertemanannya dengan Rinai. Sekeras apa pun lelaki itu menolak perasaan Rinai, dia selalu berusaha menghargai itu.

"Ta?" Lora menatap Arta dengan tatapan tidak percaya.

"Kenapa? Gue bener kan? Perasaan dia ya hak dia, tanggung jawab dia. Bukan gue."

"Demi tuhan, Ta. Gue kecewa sama lo," ujar Lora pantas pergi meninggalkan Arta yang masih terdiam di tempatnya. Arta menatap kepergian Lora dengan isi kepala yang berkecamuk.

"Gue salah?" gumamnya pelan.

Sayangnya, percakapan Arta dan Lora terdengar dengan jelas oleh Rinai. Ternyata gadis itu belum benar-benar pergi dari perumahan rumah Lora. Ketika sedang berjalan, Rinai tidak sengaja melihat Lora yang berjalan terburu-buru menghampiri seorang lelaki yang saat ini memenuhi isi kepalanya. Dan benar saja, Rinai melihat Arta dan Lora diujung sana. Maka dengan segera Rinai berusaha untuk mendengarkan percakapan mereka.

Namun, lagi-lagi yang dia dengar hanya menimbulkan luka yang semakin tergores dan rasa sakit yang semakin mendalam. Air matanya kembali mengalir deras. Tidak pernah dia sangka sebelumnya Arta akan mengatakan hal itu tentang dirinya. Tidak, Arta tidak salah sama sekali. Yang dikatakannya justru adalah sebuah kebenaran. Memang perasaannya adalah tanggung jawabnya. Seharusnya Rinai tidak pernah meminta Arta untuk tetap bertahan di hidupnya. Seharusnya dari awal Rinai sadar diri. Dan mungkin seharusnya, Rinai tidak pernah jatuh hati.

RUMIT (ARTANAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang