Episode 51🌻

2 1 0
                                    

HAPPY READING

"Ini kan yang kamu tunggu-tunggu selama ini? Aku nyerah?"

Arta terdiam berdiri menatap seorang gadis dengan tatapan terkejut, gadis itu menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Tatapan yang penuh dengan rasa sakit.

Arta disini, masih terdiam dengan rasa keterkejutannya atas kehadiran Rinai yang begitu tiba-tiba ditempat yang jarang orang lain ketahui. Terlebih ketika dirinya mendengar gadis itu mengucapkan kata-kata yang sudah lama dia duga bahwa ucapan itu akan keluar dari mulut gadis itu.

Melihat Arta yang hanya terdiam, Rinai yang tadinya berdiri dengan jarak yang tidak terlalu dekat dengan Arta, kini melangkahkan kakinya mendekat. Berjalan dengan membawa seluruh rasa kecewanya.

"Kenapa diem, Ta?" tanya Rinai ketika sudah berada di hadapan Arta.

"Tau dari mana gue disini?" Bukan menjawab pertanyaan Rinai, yang dilakukan Arta justru malah balik bertanya. Sontak hal itu membuat Rinai semakin merasa kesal.

"Gak perlu tahu aku tahu dari mana, Ta."

"Perlu. Gue perlu tahu lo tahu gue disini dari siapa. Lora?"

Rinai menggeleng pelan. Arta terlihat tidak seperti biasanya. "Nilam."

Arta terdiam. Tidak mampu menjawab ucapan Rinai barusan. Satu kata yang akhirnya membuat Arta paham arah pembicaraan Rinai kali ini. Arta cukup memahami ucapan gadis itu, karena inilah yang sudah dia duga beberapa waktu lalu. Bahwa hari ini, harus dia temui dan mau tidak mau dia harus menghadapinya.

"Kenapa diem?" tanya Rinai dengan nada ketusnya.

Tidak ada lagi nada lembut dan ceria dari diri Rinai. Tidak ada lagi tatapan ceria itu dari sorot mata Rinai. Dan, Arta lah pelakunya, yang berhasil menghilangkan cahaya binar kebahagiaan itu.

"Maaf, Nai."

Rinai menggeleng keras. "Tolong jangan dulu minta maaf," tukasnya.

"Kamu selama ini nunggu aku nyerah sama perasaanku kan? Kamu udah lama sama Nilam?"

Sebagai jawaban, Arta hanya mampu menganggukkan kepalanya.

Rinai menatapnya dengan tidak percaya. "Kamu tahu kan seberapa deket aku sama Nilam?"

Kali ini Arta menggeleng, tidak setuju dengan perkataan Rinai. "Nggak tahu sebelum lo cerita ke gue waktu itu."

"Ta, kenapa harus Nilam perempuannya?" Rinai bertanya dengan nada lirih.

Lagi-lagi Arta kembali terdiam. Dengan perasaan yang campur aduk melihat gadis yang selalu dia temukan senyuman indahnya, kini senyuman itu tidak lagi ada. Senyuman itu lenyap bersama rasa kecewanya.

"Kejadian setahun lalu yang buat akhirnya kaya gini, Nai," jelas Arta yang beberapa saat baru berani bersuara.

"Tolong jelasin, Arta," pinta Rinai dengan datar.

Namun, yang dilakukan Arta justru hanya terdiam. Nyatanya, Arta tidak mampu untuk menceritakan apa yang sudah terjadi. Dia tidak mampu menyuarakan hal itu. Padahal mungkin terlihat sangat sederhana, namun tidak bagi Arta. Semuanya tidak bisa sesederhana yang dia kira. Arta tidak sanggup mengatakan kebenaran yang sebenarnya sudah Rinai ketahui dari Nilam. Namun, Rinai ingin dengar dari sisi Arta. Tapi lelaki itu justru memilih untuk membungkam mulutnya untuk bersuara.

"Kamu emang nunggu aku nyerah ya?" Rinai bertanya dengan nada putus asa. Di dalam hatinya sudah tidak bisa merasakan apa-apa lagi. Yang ada hanya rasa kecewa dan luka yang semakin melebar.

Mendengar pertanyaan Rinai, membuat Arta sontak menggeleng keras. "Nggak pernah gue nungguin hal itu, Nai."

"Tapi kamu udah punya persiapan banyak tentang semua ini," tukas Rinai dengan cepat.

Arta kembali terdiam. Benar. Yang dikatakan Rinai memang benar. Tidak perlu ada bantahan apapun.

"Cape, Ta, aku."

Arta mengerti. Dia cukup paham dengan rasa lelah yang dimiliki Rinai.

"Kamu tahu kan? Selama ini aku punya perasaan ke kamu gak pernah minta balasan sedikit pun meski sebenarnya aku sangat ingin." Rinai menatap Arta dengan tatapan bingungnya. Rinai tidak hanya bingung dengan Arta, namun juga bingung dengan dirinya sendiri.

"Maaf, Ta."

Arta yang sedari tadi tidak berani menatap Rinai kini menolehkan kepalanya untuk sekedar memastikan ucapan Rinai barusan. "Jangan minta maaf, Nai."

Rinai menggeleng lemah. "Maaf karena udah hadir di kehidupan kamu dan kasih kamu banyak tekanan. Maaf, karena perasaanku ternyata membebani kamu. Maaf karena udah berani jatuh cinta sama kamu. Maaf karena aku kamu risih sama perasaan yang aku punya. Aku salah satu manusia di sekitar kamu yang mau kamu usir ya?"

Arta menggeleng keras. Tidak, Arta tidak pernah sampai segitunya.

"Kenapa gak bilang dari awal? Kenapa gak minta aku buat pergi dari awal, Ta? Kenapa?"

"Karena gue gak mau," jawab Arta dengan cepat.

Mendengar hal itu membuat Rinai tersenyum miris. "Nyatanya sikap kamu, kamu mau aku pergi, Arta."

Arta kembali terdiam tidak mampu menjawab perkataan Rinai. Kali ini, banyak yang tidak bisa Arta bantah. Karena sebagian besarnya adalah tentang kebenaran yang tidak bisa Arta sanggah. Meski di dalam hatinya ada banyak hal yang ingin Arta bantah, namun dia tidak sanggup. Terlebih ketika melihat sorot mata Rinai yang penuh dengan air mata kekecewaan. Semua memang ada di bagian rencana Arta. Dan memang benar, diam-diam Arta menginginkan Rinai pergi dari hidupnya. Namun tentu itu dengan alasan yang berbeda dengan pemikiran Rinai.

"Seharusnya kamu bilang langsung ke aku, Ta. Kamu gak perlu minta Lora atau siapa pun buat persiapin diri kamu untuk ngejauh dari aku. Gak perlu, Ta. Aku tahu caranya buat nyerah dan ngejauh dari kamu, aku tahu."

"Gue gak mau lo yang pergi, Nai. Gue mau biar gue aja yang pergi dari hidup lo," sahut Arta dengan cepat.

Rinai menatap Arta dengan linangan air mata yang sudah mengalir sejak tadi. Rasa sakit hatinya membuat air matanya tidak mampu berhenti. "Tapi kenyataannya sekarang apa? Aku juga kan yang harus pergi dari hidup kamu?"

Lagi-lagi Arta hanya mampu terdiam tanpa menjawab ucapan Rinai. Menatap sorot mata gadis yang kini berdiri dihadapannya dengan penuh rasa sakit. Arta menyadari, bahwa luka dan kecewanya tidak main-main kali ini.

Beberapa saat keduanya saling terdiam. Sibuk dengan berisiknya kepala mereka masing-masing. Hingga akhirnya, Rinai kembali menatap Arta.

Sebelum kembali berucap, dia lebih dulu menghapus air matanya, menarik napasnya panjang. "Maaf, Ta, tapi aku harus pergi. Aku janji setelah ini aku gak akan ganggu kamu. Aku gak akan minta kamu untuk bertahan sama aku. Aku gak akan minta kamu untuk selalu ada di jangkauan aku. Maaf kalau sebelumnya aku terlalu menuntut banyak hal ke kamu. Maaf kalau kamu harus banyak tertekannya sama aku. Terima kasih, Arta, terima kasih untuk segala waktu yang sudah kamu buang sia-sia bersama perempuan kaya aku."

Setelahnya,Rinai beranjak dan pergi meninggalkan Arta sendirian dengan perasaan yang campur aduk. Menatap kepergian Rinai dengan tatapan yang sulit diartikan. Pada akhirnya, semua akan selesai pada waktunya. Semua akan berakhir dan itu dikarenakan ulah Arta. Rinai menyerah. Nyatanya, sekuat apapun dia berusaha untuk bertahan, pada akhirnya Rinai memiliki alasan untuk menyerah. Dan Arta, harus kehilangan perempuan dengan senyuman indahnya. Arta harus kembali merasakan kehilangan. Pada akhirnya, semua akan selesai dengan akhir yang tidak bisa disebut sebagai akhir yang bahagia. Dan, Arta tidak benar-benar baik-baik saja setelah hari itu.

'Ini kan yang gue mau dari awal?' bisik Arta dalam hati.

RUMIT (ARTANAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang