Episode 42🌻

2 1 0
                                    

HAPPY READING SEMUAAA!!!

"Sejauh ini, Nilam sudah banyak berubah, mungkin sebagian besarnya karena perihal rasa sakit."

Hari ini Rinai berada didepan rumah Nilam. Niatnya pagi ini ingin mengajak Nilam bermain. Karena meski hubungan keduanya sudah membaik, namun tak dapat dipungkiri kalau keduanya memang sudah jarang bertemu. Sejak hari mereka main bersama waktu itu, mereka belum bertemu lagi. Rinai pikir, akhir-akhir ini memang mereka sudah sibuk dengan urusan masing-masing. Rinai melihat sepertinya Nilam sudah memiliki kesibukan lain selain hanya bersekolah. Maka hari ini dia memutuskan untuk pergi sendiri kerumah Nilam.

"Non Rinai," sapa Bi Imah yang muncul tiba-tiba dari dalam rumah Nilam.

Sontak Rinai tersenyum melihat kemunculan Bi Imah. "Hai, Bi. Nilam ada?"

"Ada, Non, di kamar. Masuk aja." Bi Imah menjawab seraya mempersilahkan Rinai untuk masuk kedalam. Rinai pun mengikuti langkah Bi Imah memasuki rumah Nilam. Begitu diruang tamu, Rinai menatap sekeliling rumah itu. Meski sudah lumayan lama Rinai dan Nilam berbaikan, namun Rinai sudah jarang sekali bertamu dirumah Nilam. Lagi-lagi mungkin soal kesibukan masing-masing yang menjadi penyebab keduanya jarang bertemu.

Rinai dapat merasakan suasana rumah ini. Begitu sepi dan kosong. Rumah yang hanya dihuni oleh Nilam, Bi Imah, dan suami Bi Imah. Rumah yang Rinai tahu, meski masih berpenghuni, namun sudah tidak memiliki nyawa. Rumah ini sudah lama kehilangan kehangatan dan kebahagiaan. Sejak orang tua Nilam meninggal satu tahun yang lalu, rumah ini sudah tidak ada lagi warnanya. Karena penghuninya pun sudah kehilangan warna. Beberapa saat setelah orang tuanya meninggal, Nilam benar-benar kehilangan banyak hal yang ada didalam dirinya. Bahkan dia harus kehilangan Rinai__sahabat kecilnya, karena beberapa salah paham yang tidak mau dia mengerti sama sekali waktu itu. Hingga tanpa Rinai ketahui, banyak hal yang berubah dari sahabatnya itu. Semenjak keduanya berselisih setahun lamanya, banyak hal yang dilakukan Nilam yang tidak diketahui Rinai.

Sejauh ini, Nilam sudah banyak berubah, dan mungkin sebagian besarnya karena perihal rasa sakit.

"Non Nilam ada dikamarnya, masuk aja,Non," ujar Bi Imah seketika membuyarkan lamunan Rinai.

Rinai menatap kearah Bi Imah seraya tersenyum. "Makasih ya, Bi. Nai masuk ya."

Bi Imah tersenyum menanggapi ucapan Rinai. Sebelum Rinai benar-benar masuk kedalam kamar Nilam, Bi Imah kembali bersuara dan menghentikan langkah Rinai. "Bi Imah seneng ngeliat Non Rinai udah baikan lagi sama Non Nilam. Kalian bahagia terus ya, meskipun bibi tahu kalian sekarang punya kesibukan masing-masing. Tapi Bi Imah mau kalian tetep jaga pertemanan kalian," ucap Bi Imah.

Rinai tersenyum manis. Dalam hatinya dia juga menginginkan hal yang sama dengan apa yang baru saja Bi Imah ucapkan. Rinai juga ingin bahagia selamanya dengan Nilam, sahabat yang menjadi teman satu-satunya ketika dirinya masih kecil. "Iya, Bi, kita bakal tetep temenan kok."

Setelahnya, Rinai pun bergegas masuk kedalam kamar Nilam. Ketika dirinya membuka pintu kamar, dia mendapati Nilam tengah membelakanginya sambil menonton film diatas kasur. Kebiasaan yang sering Rinai lihat dari kecil. Rinai yang senang membaca buku, dan Nilam yang senang menonton film. Hingga tak jarang keduanya sering kena marah oleh orang tua Nilam ataupun Rinai, karena ketika mereka didalam kamar berdua, yang dilakukan keduanya sibuk dengan kesenangannya masing-masing. Dan mereka melakukan itu tidak sering, hanya jika keduanya sudah bosan main bersama, dan akhirnya mereka memilih untuk istirahat sambil melakukan hal yang mereka senang.

"Hai, Lam." Terdengar sapaan Rinai dari balik pintu sambil berdiri menatap punggung Nilam dari belakang.

Nilam pun terkejut ketika menyadari kehadiran Rinai dikamarnya. Sontak dia menolehkan kepalanya kebelakang dan membelalakkan matanya. "Lho, Nai, kamu dari kapan disini?"

Rinai tersenyum, "Baru aja sampe aku. Kamu fokus banget nonton, Lam. Dari dulu gak pernah berubah," sahutnya.

Nilam terkekeh pelan. "Sini duduk, ngapain berdiri disitu." Nilam mempersilahkan Rinai untuk duduk dikasurnya. Rinai pun menuruti ucapan Nilam. Detik detik pertama, keduanya tampak canggung karena sudah lama mereka tidak seperti ini. Dikamar berdua dan berbincang banyak hal rasanya kegiatan itu sudah jauh tertinggal dibelakang sana. Dan jelas keduanya menyadari hal itu.

"Kok kamu gak ngabarin aku dulu mau kesini?" Nilam mulai bertanya. Penasaran dia atas kehadiran Rinai yang terlalu tiba-tiba ini.

"Sengaja sih. Dulu juga waktu kecil gak perlu berkabar dulu kan setiap mau main?" tanya balik Rinai seraya tersenyum.

Sontak Nilam terkekeh pelan mendengarnya. "Iya juga ya. Tapi aku kan jadi kaget."

Tak lama kemudian, Rinai berbaring dikasur Nilam. Dirinya terdiam memandang langit-langit kamar Nilam yang sudah lama tidak dia jumpai. Lalu, tatapannya beralih menatap sekeliling kamar yang tidak pernah berubah dari dulu.

"Gak ada yang berubah, Nai. Semua masih sama," ujar Nilam tiba-tiba. Nilam menyadari arti tatapan Rinai. Nilam tahu, sahabatnya itu tengah merindukan masa-masa kecilnya. Karena Nilam pun merasakan hal yang sama. Dia rindu dengan masa kecilnya bersama Rinai. Nilam rindu bagaimana cerianya mereka dulu ketika sedang bermain bersama. Keduanya menyadari, bahwa kebahagiaan itu sangat sulit untuk diulang kembali. Tidak mudah, karena terlalu banyak rasa sakit yang dengan cepat membuat semuanya berubah.

"Iya, gak ada yang berubah. Semua sama," sahut Rinai pelan.

"Kamu lagi gak sibuk, Nai?" tanya Nilam setelah beberapa saat keduanya saling terdiam.

Rinai menoleh ke arah Nilam dan tersenyum, "Kalo sibuk ngapain aku kesini, Lam?"

Nilam tertawa pelan, lantas ikut merebahkan dirinya disamping Rinai. "Udah mau ujian kenaikan kelas ya, Lam," ujar Rinai.

"Iya, setahun lagi kita sekolah, setelah itu lulus deh," sahut Nilam dengan tatapan yang menerawang ke arah langit-langit kamarnya.

"Setelah lulus, kamu lanjut kuliah dimana?" Rinai bertanya sambil menolehkan kepalanya ke arah Nilam.

"Belum tahu, aku masih bingung."

Rinai menaikkan alisnya. "Bingung kenapa?"

Nilam menghela napasnya pelan. "Aku masih bimbang. Mau kuliah yang jauh, tapi aku gak bisa ninggalin rumah ini gitu aja. Disini terlalu banyak kenangannya, Nai."

"Kamu bener," sahut Rinai dengan pelan. Diam-diam dia kembali merasa bersalah karena kecelakaan orang tuanya hari itu, serta banyak kehilangan-kehilangan lainnya yang harus Nilam rasakan. Namun, dengan cepat dia membuang perasaan bersalah itu. Rinai tidak boleh selamanya berpikir bahwa penyebab kematian orang tua Nilam adalah karena dirinya dan keluarganya. Kejadian itu murni karena kecelakaan dan itu sudah menjadi bagian dari takdir Nilam. Rinai harus belajar untuk menerima itu pelan-pelan.

"Lam," panggil Rinai disela-sela heningnya mereka berdua.

"Kenapa, Ra?"

"Apapun keputusan kamu nanti, dimanapun kamu nantinya akan kuliah. Tetep jadi temen aku ya? Jangan ada yang berubah," pinta Rinai kepada Nilam.

Nilam tersenyum mendengar ucapan Rinai. "Iya, gak boleh ada yang berubah. Sebanyak apapun orang-orang yang aku temui nanti, kamu bakal jadi sahabat kecil favorite aku, Nai. Selamanya akan tetep kaya gitu," jelas Nilam dengan lembut.

Rinai pun ikut tersenyum. Hangat sekali yang dia rasakan malam ini. Akhirnya, setahun setelah mereka bertengkar, Rinai kembali pada kedamaiannya. Rinai kembali menemukan kebahagiaan yang sejak kecil dia miliki. Pada akhirnya, Nilam dan Rinai memilih untuk berdamai dari luka yang tidak sengaja tertoreh oleh keduanya. Meski luka itu belum sepenuhnya sembuh, atau mungkin memang tidak akan sembuh, tetapi mereka memilih untuk memeluk luka itu dalam-dalam. Karena, rasanya berdamai dengan luka sendiri akan jauh lebih menenangkan dibanding dengan membiarkan luka itu terus membesar dan akan semakin menyakitkan.

SEMOGA MENGHIBUR KALIAN YAA!!!🤩💛

RUMIT (ARTANAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang