Episode 6🌻

18 0 0
                                    


"Apa kabar, Nai?"

Rinai hanya terdiam, menatap seseorang yang bertanya padanya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sedangkan seseorang yang tengah duduk di sofa ruang tamu bersama Arin, bunda Rinai, tengah berusaha tersenyum kepada putri bungsunya, meski hanya dibalas tatapan yang mengerikan dari Rinai. Tiba-tiba Arin beranjak dari tempat duduknya dan menghampiri Rinai dengan langkah pelan.

"Nai, dijawab itu pertanyaan kakak kamu," ucap Arin dengan lembut. Rinai lagi-lagi hanya bisa terdiam. Membuat semua orang yang ada di rumah itu merasa canggung. Termasuk Lora yang saat ini hanya bisa terdiam karena dia bingung harus melakukan apa di situasi seperti ini. Seseorang yang ternyata Kakak Rinai hanya bisa menghela nafasnya pelan. Paham bahwa Rinai tidak menginginkan kehadirannya. Rinai dengan segera menarik tangan Lora untuk pergi menuju kamarnya. Namun belum sampai langkahnya menaiki anak tangga, kakak Rinai dengan cepat berdiri dan menghampiri Rinai. Dengan cekatan menahan lengan Rinai dan berhasil membuat langkah Rinai terhenti.

"Nai, abang minta maaf. Tapi kasih ijin abang buat ngejelasin semuanya ke kamu," ucap kakak Rinai. Rinai hanya diam menatap tangan kakaknya yang tengah menahannya.

"Lepas," ucap Rinai dingin.

"Enggak, Nai. Dengerin gue dulu. Lo harus dengerin penjelasan gue."

"Regan, lepas!" Ucap Rinai yang membuat kakaknya yang ternyata pemilik nama Regan terdiam seraya melepaskan tangannya dari lengan Rinai. Arin menatap kedua anaknya dengan tatapan sedih. Bagaimana mungkin ini semua bisa terjadi pada keluarganya.

"Oke, masuk kamar lo sekarang," ucap Regan dengan nada yang mendadak berubah dingin. Rinai menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada rasa kecewa dalam hati Rinai. Meski begitu, Regan juga merasakan hal yang sama, bahkan Arin hanya bisa menangis melihat keduanya. Saat ini, dia sangat mengharapkan kepulangan Rendi, ayah dari kedua anak yang saat ini sedang menyimpan kecewanya masing-masing tanpa memberi jeda waktu untuk mereka saling menyelesaikannya. Sementara Lora berada di situasi yang membuatnya kebingungan harus bertindak seperti apa. Menatap semua orang dirumah ini dengan tatapan yang bingung, sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi didalam rumah ini. Rinai sama sekali tidak pernah membahas masalah apapun yang terjadi pada dirinya.

"Masuk kamar gue bilang. Lo gak akan ngerti juga kalo gue jelasin sekarang. Jadi, silahkan benci gue untuk saat ini," jelas Regan dengan nada yang mulai melembut, tidak sedingin tadi. Bagaimanapun, Rinai adalah adik kecilnya yang sangat dia sayangi, dia juga menghargai Bundanya yang terlihat sangat sedih, dia tidak mau membuat Bundanya makin sedih.

Rinai pergi kedalam kamar tanpa mengatakan sepatah katapun. Lora ikut pergi ke kamar setelah meminta izin pada Arin dan Arin menyetujuinya. Regan menghela nafasnya kasar, menatap pintu kamar Rinai dengan tatapan sedih bercampur lelah. Kemudian, dia merangkul Arin dan berusaha menenangkan Bundanya.

"Maafin Regan, Bun. Udah buat bunda sedih lagi karena ulah Regan yang berusaha dateng kesini," ucap Regan pelan yang justru membuat Arin merasakan sedih yang semakin dalam.

"Gak perlu minta maaf, Abang. Kamu boleh kesini kapan aja, ini rumah kamu lho. Gak boleh bilang gitu lagi," jelas Arin dengan sedih.

Regan berusaha tersenyum untuk menenangkan Arin dan menjelaskan bahwa semua akan baik-baik saja.

"Regan balik ke apart ya, Bun. Udah malem juga bunda istirahat gih."

"Kamu gak mau nunggu ayah kamu pulang dulu, Bang? Gak kangen ayah?" tanya Arin yang membuat Regan tertawa pelan.

"Gampang nanti Regan bisa temui ayah di kantor kok. Lagian, ayah pulangnya masih lusa kan?"

Arin mengelus rambut putranya yang kini mulai panjang. Menatap wajah putranya yang menyimpan banyak hal sendirian. Arin sangat tahu apa yang terjadi diantara Regan dengan Rinai. Namun Arin benar-benar tidak bisa membantu mereka jika ego merekalah yang membatasi keduanya.

"Besok potong rambut ya, Bang. Rambut kamu udah panjang gini, lho. Dipotong ya, Nak."

"Iya, Bun. Besok Regan potong."

Setelah itu, Regan pamit meninggalkan Arin dan kembali ke apartemen nya. Membawa rasa sedih yang belum juga hilang semenjak satu tahun lalu. Rasa sakit serta rasa bersalah yang terus menghantuinya bahkan sampai hari ini.

Sementara di kamar Rinai, dia sejak tadi tengah berdiri di jendela kamarnya. Menatap jalanan yang gelap dan hanya diterangi oleh lampu jalanan yang mulai redup. Air matanya tidak berhenti sejak tadi. Hingga ketika dia melihat Regan keluar dari rumahnya, dan pergi menggunakan motor sport kesayangannya. Air mata Rinai kembali mengalir dengan deras. Karena hati Rinai tidak berbohong bahwa dia merindukan abang kesayangannya. Namun, rasa kecewa sejak satu tahun yang lalu membuatnya memasang tembok tinggi antara dia dan Regan seakan-akan semua hal yang pernah Rinai lakukan sejak kecil bersama Regan adalah mimpi semata. Karena kenyataannya, sekarang dia bahkan terasa sangat jauh dengan Regan.

Lora sejak tadi hanya terdiam duduk dipinggir kasur Rinai. Menatap teman baiknya yang kini menangis dengan diam. Lora memberikan Rinai waktu untuk menenangkan pikirannya, karena Lora tahu bahwa Rinai butuh ketenangan saat ini. Hingga tiba-tiba Rinai berjalan menuju kamarnya dan menghampiri Lora. Duduk disamping Lora yang kini tengah mengusap bahunya pelan.

"Gue gak tau masalah lo apa, tapi gue mohon buat bertahan ya, Rin?"

"Makasih, Ra. Maaf juga selama ini aku gak cerita apa-apa ke kamu."

"Gak perlu minta maaf, gue tau lo butuh waktu buat terbuka sama gue. Lain waktu lo boleh cerita kalo lo udah siap."

Rinai tersenyum pelan menatap teman baiknya yang kini tengah menatapnya lembut. Rinai lega karena di situasi seperti sekarang, dia tidak sendirian. Karena biasanya, Rinai hanya berdiam diri dikamar enggan menemui siapapun bahkan Bundanya sendiri. Sekarang Rinai merasa bersalah pada Bunda, karena membuat nya sedih malam ini, juga merasa bersalah pada Lora, karena telah membawa teman baiknya pada situasi yang rumit ini.

"Kamu nginep kan?" tanya Rinai yang sudah jauh lebih tenang ketimbang tadi.

"Gak deh gue pulang aja, tadinya gue kesini mau mastiin lo baik-baik aja karena hari ini lo agak lain. Nyokap gue sendirian, bokap gue juga di luar kota. Gapapa kan gue tinggal?"

"Gapapa, Ra. Makasih ya."

"Makasih apa si? Daritadi makasih mulu." Lora berkata dengan nada yang dibuat-buat kesal. Sedangkan Rinai hanya tertawa mendengarnya. Lora segera bangkit dari duduknya dan mengambil jaket yang ada di meja belajar Rinai.

"Besok-besok kalo mau cerita, ngomong aja, Rin. Dengan lo cerita gak bakal ngebebanin siapapun, tenang aja. Jangan lo pendam sendiri," jelas Lora.

"Iya, Ra," jawab Rinai seadanya.

"Oiya satu lagi."

"Apa?"

"Lo juga harus cerita tentang cowok itu ke gue ya? Awas aja kalo sampe macem-macem tuh orang," sontak Rinai tertawa mendengar ocehan Lora yang justru malah membuat Lora manatapnya dengan kesal.

"Gak bakal macem-macem kok dia, lagian kita cuma temenan," jelas Rinai.

"Alah, sekarang iya temen. Besok? Lusa? Gak ada yang tau, Rin," ucap Lora sambil terkekeh pelan. Rinai hanya tersenyum mendengarnya. Setelah itu, Lora pamit dan pergi dari rumah Rinai. Rinai tidak ikut mengantar keluar, karena Lora tidak kasih izin untuk Rinai keluar. Lora tahu, suasana hati Rinai masih belum baik saat ini. Maka dari itu dia memberikan Rinai waktu untuk menenangkan pikirannya sendiri.

Setelah Lora pergi, tiba-tiba Rinai teringat dengan permen kapas dan seseorang yang memberikannya permen kapas ketika suasana hatinya sedang kacau. Dia menginginkan permen kapas malam ini. Namun, bukan hanya sekedar permen kapasnya, tapi juga dengan seseorang yang memberikannya. Terbesit di kepalanya untuk menghubungi Arta. Namun, seketika diurungkan niatnya karena mungkin akan mengganggu waktu istirahat Arta. Lagipula, hari ini mereka baru saja bertemu. Akhirnya, Rinai memutuskan untuk tidur dan melupakan semua kejadian malam ini.

RUMIT (ARTANAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang