16

246 35 3
                                    

Tiga perempat jam kemudian, Will memimpin Nyonya Bruschweiler dan Paman Monty yang puas, namun juga sendu, keluar dari rumah itu, meninggalkan Nyonya Kim bersama kedua cucunya. Sang nenek bangkit perlahan-lahan, bahunya tampak tegang ketika ia menoleh ke arah Mingyu. "Kau pastinya tidak serius ingin melakukan hal ini!" tuntutnya.

"Aku bermaksud akan melakukan tepat seperti itu."

Wajah wanita itu memutih mendengar kata-kata itu. "Mengapa?" desaknya. "Kau tak mungkin mengira aku akan percaya kau punya keinginan setitik pun untuk menikahi tikus dusun itu."

"Aku tidak ingin."

"Kalau begitu, demi Tuhan, mengapa kau melakukan ini?"

"Kasihan," ujar Mingyu blak-blakan. "Aku kasihan pada gadis itu. Dan, suka atau tidak, aku bertanggung jawab atas apa yang terjadi padanya. Hanya itu saja."

"Kalau begitu bayar dia!"

Sambil bersandar di kursinya, Mingyu dengan letih memejamkan mata dan memasukkan tangannya ke saku celana. "Bayar dia," ulangnya getir. "Demi Tuhan kuharap aku bisa, tapi aku tak bisa. Dia telah menyelamatkan nyawaku dan sebagai balasannya, aku merusak kesempatannya untuk mendapat kehidupan yang terhormat. Kau dengar apa yang dikatakan ibunya, tunangannya telah memutuskan hubungan karena dia telah 'tercemar'. Begitu dia kembali ke desa, dia akan menjadi santapan empuk pria hidung belang. Dia tidak akan punya kehormatan, tidak punya suami, tidak punya anak. Dalam setahun atau dua tahun lagi, dia akan terpaksa merendahkan dirinya dengan menjual diri di penginapan yang sama dengan penginapan tempat aku membawanya."

"Omong kosong!" kata sang Nenek ngotot. "Kalau kau membayarnya, dia bisa mencari tempat tinggal di tempat lain. Di London misalnya, gosip-gosip itu tidak akan bisa mengikutinya ke sana."

"Di London, hal terbaik yang dapat dia harapkan hanyalah menjadi wanita simpanan seseorang, dan itu dengan asumsi dia bisa menarik perhatian pria tua kaya raya atau pria muda yang bodoh untuk memeliharanya. Kau sudah lihat dia kan, dia sama sekali bukan tipe wanita yang bisa membuat pria bergairah."

"Tak perlu bicara vulgar," kata Nyonya Kim kaku.

Mingyu membuka mata, ekspresinya tampak sinis. "Sejujurnya, aku merasa cukup 'vulgar' memberi hadiah kepada seorang gadis yang telah menyelamatkan nyawaku dengan menggiringnya ke dunia prostitusi, seperti yang kau usulkan tadi."

Mereka saling menatap dari seberang ruangan, dua tekad kuat saling  beradu dalam diam. Nyonya Kim akhirnya menyerah sambil mengangkat kepalanya tinggi-tinggi. "Terserah kau, Hawk," ujarnya setengah hati, mematuhi Mingyu sebagai kepala keluarga. Lalu ia teringat sesuatu hingga ia duduk terenyak ke kursinya, wajahnya menjadi pucat pasi. "Selama tujuh ratus tahun, garis keturunan keluarga kita tidak pernah tercemar. Kita keturunan para raja dan kaisar. Tapi sekarang kau bermaksud menjadikan wanita tak jelas itu untuk menghasilkan keturunan yang berikutnya." Amat sangat frustasi, sang Nenek mengalihkan rasa kesalnya kepada cucunya yang satu lagi. "Jangan cuma duduk saja, Yugyeom, katakan sesuatu!"

Yugyeom bersandar di kursinya, ekspresinya datar. "Baiklah," ujarnya ramah, menerima keputusan Mingyu sambil tersenyum lebar, "kapan aku akan diperkenalkan dengan calon sepupuku? Atau apakah kau bermaksud membiarkannya berada di ruang duduk sampai hari pernikahan?"

Sang Nenek mengerling tajam ke arahnya, tapi wanita itu tidak berkata apa-apa. Ia duduk diam, punggungnya tegak lurus, kepalanya yang berambut putih diangkat tinggi-tinggi, namun kekecewaan yang dirasakannya satu jam terakhir itu membuatnya tampak lebih tua sepuluh tahun.

Yugyeom melirik Mingyu lalu mengangkat gelasnya tanda bersulang. "Untuk kehidupan rumah tangga yang berbahagia, Hawk." Ia menyengir.

Mingyu melemparkan pandangan sebal ke arahnya, tapi selain itu raut wajahnya tetap tak terbaca. Yugyeom tidak terkejut melihat wajah Mingyu yang tanpa emosi itu. Sebagaimana nenek mereka, Mingyu hampir selalu menyembunyikan emosinya rapat-rapat, tapi tidak seperti sang Nenek, Hawk melakukannya tanpa susah payah, begitu natural sehingga Yugyeom dan banyak orang bertanya-tanya apakah pria itu merasakan emosi selain amarah.

Untuk saat ini, Yugyeom benar. Mingyu tidak merasakan hal apa pun selain amarah dan rasa tak berdaya untuk menjalani pernikahan. Ketika mengangkat gelas ke bibirnya, Mingyu merenung dengan getir bagaimana permainan takdir telah mengubah nasibnya dengan tiba-tiba. Setelah bertahun-tahun bersenang-senang dengan para wanita yang paling berpengalaman, paling modern, dan paling bejat di London, takdir ternyata membuatnya terikat seumur hidup dengan calon istri yang masih kecil dan amat sangat lugu. Instingnya mengatakan bahwa keluguan Lisa timbul bukan karena tidak berpengalaman, tapi karena wanita itu memiliki hati yang lembut dan baik.

Di tangannya, wanita itu akan kehilangan keluguan jasmani, namun ia tidak yakin wanita itu akan kehilangan tatapan mata lugunya, atau berhasil dipulas menjadi wanita modern yang bodoh dan membosankan yang merupakan persyaratan yang sama pentingnya untuk diterima ke dalam lingkup bangsawan seperti juga koneksi keluarga yang bagus.

Ia sedikit cemas Lisa tidak akan cocok berada dalam dunianya, hidupnya. Memang itu cukup membuatnya cemas, tapi tidak banyak, karena sebenarnya tak berniat untuk berlama-lama tinggal dengan wanita itu beberapa tahun mendatang, ia juga tidak ingin mengubah gaya hidupnya secara drastis. Ia memutuskan akan menempatkan wanita itu di rumahnya di Devon dan mengunjunginya di sana.

Sambil menghela  napas, ia teringat harus memberitahu wanita simpanannya bahwa wanita itu tidak dapat menemani Mingyu ke Devon minggu depan seperti yang sudah direncanakan. Untunglah Jennie cukup modern, cantik dan seksi. Mingyu tak perlu takut wanita itu akan merajuk bila ia menjelaskan tentang perjalanan ke Devon dan pernikahannya ini.

"Well, kapan kami akan diperkenalkan secara resmi kepada dia?" ulang Yugyeom.

Mengulurkan tangan ke belakang, Mingyu menarik tali bel. "Will," panggilnya, ketika sang kepala pelayan muncul di ambang pintu, "panggil Nona Bruschweiler dari ruang duduk kuning dan bawa dia ke sini."

"Di mana ibu dan Paman Monty?" tanya Lisa agak panik begitu memasuki ruang duduk.

Mingyu berdiri dan berjalan ke depan. "Mereka sudah dibawa ke penginapan terdekat tempat mereka dengan bahagia menunggu pelaksanaan pernikahan kita," jawab Mingyu tanpa menyembunyikan nada sinis dalam suaranya. "Meskipun demikian, kau akan tetap berada di sini."

Sebelum Lisa dapat memahami semua itu, ia diperkenalkan kepada Nyonya Kim, yang memperhatikannya lekat-lekat memakai kacamata bergagang. Dengan rasa malu tak terperi karena diperhatikan dengan penuh rasa jijik seperti itu, Lisa mengangkat dagunya dan balas menatap wanita tua itu.

"Jangan memelototi aku dengan cara tak sopan dan kasar seperti itu," bentak Nyonya Kim ketika melihat ekspresi Lisa.

"Oh, apakah saya tidak sopan, Ma'am?" tanya Lisa dengan nada manis. "Kalau begitu saya minta maaf. Saya tahu tidak sopan memelototi seseorang. Tapi saya benar-benar tidak tahu bahwa tata krama seperti itu hanya berlaku jika kita adalah orang yang dipelototi."

Gagang kaca mata Nyonya Kim melorot dari tangannya dan matanya menyipit. "Berani-beraninya kau menggurui aku! Kau bukan siapa-siapa, rakyat jelata yang tak berdarah biru, bukan dari keturunan atau silsilah yang baik."

"Memang menyenangkan jka memiliki silsilah yang baik," kutip Lisa dengan geram, "tapi kemegahan itu adalah milik nenek moyang kita, bukan kita."

Yugyeom mengeluarkan suara aneh, seperti orang menahan tawa, dan cepat-cepat menempatkan diri di antara neneknya yang marah dan anak tak bijaksana yang memilih untuk berperang kata-kata dengan neneknya. "Plato ya?" tanyanya sambil tersenyum dan mengulurkan tangan.

Lisa menggeleng, tersenyum malu sambil berharap ia mendapat sekutu di dalam sekumpulan orang asing yang tak ramah ini. "Plutarch."

"Cukup mirip, kan?" Yugyeom terkekeh. "Karena Mingyu sepertinya pura-pura bodoh, izinkan aku untuk memperkenalkan diri sendiri. Aku sepupu Mingyu, Yugyeom."

Lisa meletakkan tangannya di telapak tangan Yugyeom. "Senang bertemu denganmu."

"Tekuk kakimu!" perintah Nyonya Kim dengan nada dingin.

"Maaf?"

"Seorang gadis harus menekuk kaki ketika diperkenalkan dengan orang yang kedudukannya lebih tinggi atau usianya lebih tua."

Something Wonderful (GYULIS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang