13

262 35 0
                                    

Nyonya Kim menatap cucunya sambil tersenyum kaku namun mata cokelatnya tampak perhatian. Pada usia tujuh puluh tahun, wanita itu masih tampak cantik dengan rambutnya yang putih, aura bangsawan, dan rasa percaya diri angkuh yang tak tergoyahkan yang datang dari kehidupan eksklusif yang ia jalani seumur hidup.

Meskipun ketegaran memancar dalam setiap tingkah lakunya, wanita itu bukannya tidak pernah berduka. Dia hidup lebih lama daripada suami dan anak-anaknya. Namun kendali dirinya amat kokoh sehingga sahabat terdekatnya pun tidak tahu apakah dia mencintai suami dan anak-anaknya atau apakah dia sadar mereka telah meninggal. Lagi pula menanyakan hal itu pada Nonya Kim bisa membahayakan posisi mereka di kalangan kaum bangsawan, sehingga tak satu pun dari mereka berani bertanya.

Wanita itu sama sekali tidak terlihat cemas waktu menyimak penuturan cucu tertuanya, yang duduk di salah satu sofa ruang duduk dengan kaki bersepatu bot ditumpangkan di lutut yang satunya lagi, menjelaskan dengan santai bahwa ia terlambat karena dua orang perampok ingin membunuhnya semalam.

Meskipun demikian, cucunya yang satu lagi sama sekali tidak mau repot-repot menyembunyikan perasaannya ketika mendengarkan penjelasan sepupunya. Sambil mengangkat gelas anggurnya ke bibir, Yugyeom menyengir dan berkata dengan suara malas, "Mingyu, akui sajalah, sebenarnya kau ingin menghabiskan satu malam lagi dengan wanita simpananmu yang cantik itu. Eh, maafkan kelancanganku, Grandmama," kata Yugyeom sedikit terlambat ketika sang Nyonya mengerling tajam ke arahnya. "Padahal sebenarnya tidak ada perampok dan gadis berusia dua belas tahun yang menyelamatkanmu. Benar, kan?"

"Salah," jawab Mingyu tenang.

Sang nyonya mengawasi adu mulut antara dua sepupu itu. Mereka sangat akrab satu sama lain, layaknya kakak beradik namun juga sangat berbeda seperti siang dan malam, pikir Nyonya Kim. Mingyu lebih mirip dirinya, kaku, dingin, menjaga jarak, sementara Yugyeom lebih ramah dan baik hati. Yugyeom memiliki orang tua yang sangat menyayanginya, Mingyu tidak pernah mengenal kasih sayang dari kedua orang tuanya. Sang nenek menyukai sifat Mingyu, namun ia tidak suka sifat ramah Yugyeom. Ketidak sukaan, dalam derajat yang berbeda-beda adalah satu-satunya emosi yang bersedia ditunjukkan oleh Nyonya Kim.

"Kejadiannya persis seperti yang ku ceritakan, meski pun dengan mengakui itu harga diriku terluka," lanjut Mingyu datar sambil berdiri dan berjalan menuju lemari di sisi ruangan untuk mengisi kembali anggur di gelasnya." "Sesaat aku sedang menatap laras pistol lalu sedetik kemudian wanita itu sudah muncul, masuk ke tengah-tengah kami dengan menunggang seekor kuda tua, penutup helmnya diturunkan sambil memegang tombak di salah satu tangan dan memegang senapan di tangan yang lain."

Ia menuang anggur Portugis yang sangat disukainya itu ke gelas lalu kembali ke tempat duduknya. Dengan nada sungguh-sungguh dan bukan meremehkan, ia melanjutkan, "Baju zirahnya sudah berkarat dan rumahnya persis seperti rumah yang digambarkan di novel-novel seram, lengkap dengan sarang laba-laba di langit-langitnya, kain tenun yang telah pudar, pintu berderit, dan dinding yang lembap. Wanita itu punya kepala pelayan yang tuli, pelayan buta yang kalau berjalan menabrak dinding, serta paman yang mabuk.."

"Keluarga yang menarik," gumam Yugyeom. "Tak heran dia begitu.... eh.... tidak konvensional."

"Sikap konvensional," kutip Mingyu datar, "adalah tempat berlindung bagi pikiran yang kolot."

Sang nenek, yang sepanjang umurnya adalah penganut setia paham kuno, mendelik marah. "Siapa yang mengatakan kalimat konyol itu?"

"Lalisa Bruschweiler."

"Sangat tidak konvensional." Yugyeom terkekeh geli, memperhatikan bagaimana seulas senyum sayang mengembang di wajah kasar sepupunya ketika menyebut nama gadis itu. Yugyeom tahu Mingyu sangat jarang tersenyum, kecuali senyum merayu atau sinis, dan jarang tertawa. Mingyu dibesarkan oleh ayah yang percaya segala sesuatu yang sentimental itu 'lembek', dan apapun yang lembek tidak diperkenankan, terlarang. Begitu pula segala sesuatu yang membuat pria menjadi rapuh. Termasuk cinta. "Bagaimana rupa wanita yang luar biasa itu?" tanya Yugyeom, penasaran, ingin tahu lebih banyak mengenai wanita yang membawa pengaruh luar biasa terhadap sepupunya.

"Mungil," jawab Mingyu sementara bayangan wajah Lisa yang sedang tertawa melintas dalam benaknya. "Dan sangat kurus. Tapi dia punya senyum yang dapat melelehkan karang serta mata yang sangat cantik. Warnanya hazel kehijauan, bila kau menatap wajahnya, hanya mata itulah yang akan kau lihat. Tutur katanya sama terpelajarnya seperti kau atau aku, dan meskipun rumahnya sangat suram, dia memiliki sifat ceria."

"Dan berani, sepertinya," imbuh Yugyeom.

Mingyu mengangguk dan berkata, "Aku akan mengirim cek kepadanya, hadiah karena telah menyelamatkan nyawaku. Tuhan pun tahu mereka dapat menggunakan uang itu. Berdasarkan apa yang dia katakan, dan hal-hal yang dengan hati-hati tidak dia katakan, aku menyimpulkan bahwa tanggung jawab mengurus rumah tangga berada di pundaknya. Lisa pastinya akan tersinggung bila diberi uang, itulah sebabnya aku tidak memberikan kepadanya tadi malam, tapi uang itu akan meringankan bebannya."

Sang nenek mendengus tak senang, masih kesal pada definisi Nona Bruschweiler tentang konvensionalitas. "Masyarakat golongan bawah selalu suka menerima uang, Mingyu, mereka tak peduli mengapa uang itu diberikan. Aku terkejut gadis itu tak meminta imbalan uang padamu tadi malam."

"Kau sinis sekali," goda Mingyu blak-blakan. "Tapi kau salah menilai gadis ini. Dia tidak punya sifat licik atau pun tamak."

Terkejut mendengar kalimat seperti itu keluar dari mulut Mingyu, yang selalu menganggap remeh wanita, dengan sigap Yugyeom mengusulkan, "Beberapa tahun lagi coba kau temui dia dan menjadikannya sebagai,"

"YUGYEOM!" hardik Nyonya Kim dengan nada suara tak senang. "Tolong jangan mengatakan itu di hadapanku!"

"Aku tak pernah bermimpi akan membawanya pergi dari desa itu," kata Mingyu, sama sekali tak menghiraukan wajah cemberut neneknya. "Lisa adalah permata yang langka, tapi dia tidak akan tahan tinggal di London barang satu hari pun. Dia tidak cukup tegar, atau getir, atau ambisius. Dia," Mingyu tiba-tiba berhenti dan melihat dengan ekspresi ingin tahu ke arah kepala pelayannya, yang dengan sopan pura-pura batuk untuk menarik perhatian Mingyu. "Ya, Will, ada apa?"

Will menegakkan tubuh, wajahnya berkerut tak senang, alis matanya terangkat kesal. Menunjukkan ucapannya kepada Mingyu, kepala pelayan itu berkata, "Ada tiga orang datang ke sini, Your Grace, yang berkeras ingin menemui Anda. Mereka tiba naik kereta yang begitu buruk hingga tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, yang ditarik oleh kuda yang tidak bisa dibilang kuda, mengenakan pakaian yang tak akan dipakai orang waras,"

"Siapa mereka?" sela Mingyu tak sabar.

"Yang pria mengatakan namanya Monty Bruschweiler, dan kedua wanita yang ada bersamanya adalah adik iparnya, Nyonya Bruschweiler, serta keponakannya, Nona Lalisa Bruschweiler. Mereka bilang mereka hendak menagih hutang Anda terhadap mereka."

Mendengar kata hutang alis Mingyu langsung bertaut. "Antar mereka masuk," ujarnya singkat.

Berbeda dengan sikap angkuh yang biasa ditunjukkannya, Nyonya Kim mengizinkan dirinya sendiri untuk melemparkan kerlingan 'ku-bilang-juga-apa' ke arah Mingyu. "Nona Bruschweiler bukan hanya tamak, dia juga suka memaksa dan lancang. Coba bayangkan, dia menemuimu ke sini dan mengatakan kau berutang padanya."

Tanpa mengomentari pernyataan neneknya, Mingyu berjalan lalu duduk di meja berukir dari kayu ek di ujung ruangan. "Kalian tak perlu menyaksikan ini. Aku akan mengatasinya."

"Kebalikannya," kata sang nenek dengan nada dingin. "Aku dan Yugyeom harus hadir sebagai saksi, siapa tahu, orang-orang ini ingin memeras."

***

Menjaga matanya tetap terpusat ke punggung kepala pelayan, Lisa dengan berat hati berjalan di belakang ibunya dan Paman Monty. Ia dilanda rasa malu yang sangat hebat, dan penderitaannya bertambah seribu kali lipat melihat kemegahan estat milik keluarga Mingyu ini.

Ia sudah memperkirakan nenek Mingyu pastilah tinggal di rumah yang besar, tapi sama sekali tak mengira dan membayangkan tempat ini begitu megah, menjulang di tengah hamparan berhektar-hektar taman dan kebun. Sampai mereka tiba di tempat ini, Lisa berpegang pada ingatannya akan sang bangsawan seperti yang dilihatnya malam itu, ramah dan terbuka. Namun, rumah ini telah menghapus pikiran konyol itu dari benaknya. Pria itu berasal dari dunia yang berbeda. Bagi pria itu, rumah ini adalah rumah pedesaan yang mungil. Padahal rumah ini adalah istana, pikir Lisa sedih ketika kakinya tenggelam dalam permadani yang tebal, istana ini membuatnya merasa lebih kecil dan tak berarti dibanding sebelumnya.

Something Wonderful (GYULIS)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang